Polling : Siapa Menteri Jokowi yang Ngebet Nyapres dan Layak di Resufle?
Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 semakin dekat. Ada deretan nama yang dikabarkan bakal menjadi kandidat kuat calon presiden dan wakil presiden, salah satunya yang berasal dari jajaran menteri Kabinet Kerja.
Sebut saja nama-nama seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golongan Karya Airlangga Hartarto, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
"Kekhawatiran itu wajar, wajar-wajar saja. Tapi menteri yang telah dilantik itu kan sudah janjian di awal bahwa mereka harus bekerja keras, harus mengutamakan rakyat, mengutamakan tugas-tugas negara," ujar Jokowi dalam wawancara khusus ekslusif bersama CNBC Indonesia.
Perihal nasib para menteri yang ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi 2024, Jokowi mengaku akan taat aturan. Apabila ketentuannya mengharuskan mereka untuk mundur, maka penggantian akan dilakukan.
Lantas menurut Anda siapa sosok Menteri yang layak diganti sebelum 2024?
Be the first person to like this.
Lumayann
Be the first person to like this.
Polling: Stadion Mana yang Paling Layak untuk Piala AFF 2022?
Menpora Zainudin Amali mengatakan bahwa Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) tidak boleh dipakai Timnas Indonesia untuk berlaga di Piala AFF 2022. Alasannya, GBK akan dipersiapkan untuk Piala Dunia U-20 2023.
PSSI pun sudah angkat bicara soal stadion pengganti Gelora Bung Karno (GBK) untuk Timnas Indonesia berlaga di Piala AFF 2022. Menurut Direktur Teknik PSSI, Indra Sjafri, hal itu masih dalam tahap diskusi.
"[Opsi pengganti GBK] lagi didiskusikan oleh Kesekjenan dan Bidang Kompetisi,'' kata Indra Sjafri kepada kumparan, Jumat (4/11).
PSSI sebenarnya punya beberapa pilihan stadion lagi selain GBK untuk Timnas Indonesia. Misalnya adalah Jakarta International Stadium (JIS), Stasion Batakan di Balikpapan, dan Stadion Patriot Candrabhaga di Bekasi.
Lantas, stadion mana yang paling layak untuk Piala AFF? Sampaikan pandanganmu dalam polling di bawah ini. Berikan juga pendapatmu dalam kolom komentar.
Polling: Stadion Mana yang Paling Layak untuk Piala AFF 2022?
Be the first person to like this.
Ketika saya membuka media sosial, banyak teman-teman saya yang kariernya mulai sukses, sibuk dengan proyek kantornya. “Keren sekali hidup mereka,” pikir saya. Pikiran bawah sadar perlahan mulai membandingkan diri dan berkesimpulan bahwa pencapaian saya tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman saya. Saya menjadi insecure.
Namun, dari sini saya bertanya, “Mengapa bermain media sosial menjadi sedemikian rumitnya?” Saya mulai menggali kembali alasan penciptaan media sosial dan mengapa media sosial disangkutpautkan dengan depresi, kecemasan, dan perasaan teralienasi.
Esensi Media Sosial
Sewaktu Mark Zuckerberg masih menjadi mahasiswa di Harvard tahun 2004 lalu, dia mengatakan bahwa alasannya menciptakan Facebook untuk memecahkan masalah komunikasi di kampusnya.
Mark ingin menciptakan aplikasi yang membuat mahasiswa-mahasiswi saling terhubung. Akhirnya, terciptalah Facebook sebagai platform untuk berhubungan dengan orang banyak.
Jack Dorsey menyusul Mark Zuckeberg dan menciptakan Twitter di tahun 2006. Gagasan awalnya adalah untuk menciptakan aplikasi berbagi pesan kepada sekelompok orang, mirip dengan SMS. Lambat laun berproses, akhirnya Jack berhasil menciptakan Twitter, dengan tweet pertama yang berbunyi, “just set up my twttr.”
Enam tahun kemudian, Kevin Systrom dan Mike Krieger menciptakan Instagram. Bagi mereka, Instagram merupakan tempat berbagi foto.
Kemudian, pada tahun 2016, Instagram menciptakan fitur story, yang terinspirasi dari Snapchat. Netizen bisa membagikan cerita mereka dengan perspektif yang lebih kaya.
Perusahaan asal Tiongkok, Bytedance, menciptakan TikTok di tahun 2016 sebagai aplikasi untuk membuat dan membagikan video pendek ke netizen. Singkatnya, TikTok berfungsi sebagai media sosial penghibur bagi para user yang lelah beraktivitas.
Sampai sekarang, media sosial telah digunakan miliaran orang secara global. Mereka berbagi momen kebersamaan, berkomunikasi, membagikan video lucu, dan melakukan pemasaran di media sosial.
Dari penggalian ini, satu kesamaannya adalah dibuatnya media sosial bertujuan untuk tiga hal: sharing, communication, dan entertainment. Itu esensi media sosial. Semua orang di berbagai belahan dunia bisa berkomunikasi dan berbagi dengan teman mereka.
Makna dari Sharing
Lalu, kenapa bermain media sosial menghasilkan perasaan tertentu?
Ada satu kata yang menjadi fokus saya: sharing. Saya memahami bahwa makna kata sharing di media sosial tidak hanya soal konten informatif, tetapi membagikan beberapa hal tentang diri kita, khususnya sisi-sisi baik.
Kita ingin orang-orang melihat bahwa kita sudah menjadi sosok yang ideal. Misalnya, memiliki pekerjaan yang baik, mempunyai banyak teman, dan terlibat dalam berbagai komunitas yang sesuai dengan kepedulian kita.
Survei dari We Are Social tahun 2022 mengungkapkan ada dua alasan mengapa orang bermain media sosial: terhubung dengan teman dan keluarga (58%) dan mengisi waktu luang (57%%).
Ini memang benar adanya, karena ketika di media sosial, kita bisa merespon story dan postingan teman-teman kita, berbalas komentar dan pesan langsung.
Tetapi, survei itu masih umum. Saat melihat dari sudut pandang psikologis, jawabannya berbeda. Studi dari New York Times pada tahun 2011 lalu menemukan bahwa 68% responden berbagi di media sosial karena ingin menunjukkan kepada orang-orang tentang diri dan apa yang dipedulikan.
Karena alasan itu, kita mengkurasi konten yang akan kita publikasikan supaya sesuai dengan sisi ideal kita. Tak jarang, saat kita buka story, feed, atau status, sisi baik seseorang akan terlihat.
Psikolog Carl Rogers menjelaskan bahwa diri kita terbagi dua: sisi ideal dan sisi sejati. Sisi sejati kita berada di dunia nyata, sedangkan sisi ideal kita berada di media sosial.
Di media sosial, sisi ideal itulah yang kita tonjolkan. Kita melakukan branding bahwa diri yang ada di media sosial adalah yang sejati. Padahal, bisa jadi, diri mereka yang ada di dunia nyata tidak sebaik di media sosial.
Jadinya, kita bermain media sosial untuk mendapatkan status tertentu. Tucker Max, seorang penulis best-selling asal Amerika Serikat, mungkin tepat mengatakan bahwa tujuan sharing di media sosial adalah soal status.
Orang-orang akan membicarakan konten kita dan itu tentunya menguntungkan kita. Karena itu, kita ingin memastikan jika orang-orang hanya membicarakan hal baik tentang kita.
Maka dari itu, kita sekarang hidup di dua dunia: nyata dan digital. Di dunia nyata, kita hidup dengan diri kita apa adanya. Sedangkan di dunia digital, kita menciptakan diri yang ideal.
Bukan Platformnya, Tetapi Kontennya
Postingan di media sosial adalah hak setiap orang. Kita bebas memposting apapun selama tidak melanggar ketentuan dari media sosial masing-masing.
Media sosial hanyalah sebuah teknologi. Lalu, memang bisa teknologi menimbulkan perasaan negatif? Terus mengapa ketika melihat postingan story, feed, dan status teman yang menunjukkan kesuksesannya, kita malah merasakan emosi negatif?
Pencarian jawaban saya akhirnya mengarah pada satu kata: konten. Media sosial memungkinkan kita menampilkan sisi terbaik kita, sehingga konten kita berupa story, feed, dan status berusaha menonjolkan sisi itu.
Postingan tersebut adalah konten: konten yang kita kurasi supaya orang melihat sisi terbaik kita. Bagaimana jika konten tersebut dilihat oleh orang-orang, yang situasi dan kondisinya tidak seindah orang lain di media sosial?
Katakanlah seseorang yang sedang kesepian, kemudian melihat konten teman dekatnya sedang bersenang-senang. Dan teman dekatnya tidak mengundangnya. Atau ketika seseorang tidak naik kariernya melihat postingan temannya yang baru promosi menjadi Senior Manager.
Bisa jadi, konten tersebut membuat kita merasa insecure, lalu membandingkan dirinya dengan temannya. Kita merasa tidak signifikan dan menjadi orang yang paling kesepian di dunia ini.
Studi tahun 2018 yang terbit di Jurnal Sosial dan Psikologi Klinis mengungkapkan bahwa media sosial menjadi penyebabnya. Peneliti menemukan bahwa orang yang tidak sering bermain media sosial tidak terlalu depresi dan merasa kesepian.
Namun, saya berpikir bukan media sosialnya, karena dia hanya teknologi. Akan tetapi konten yang ada di dalamnya. Konten yang kita lihatlah yang membuat kita merasakan perasaan tertentu, baik itu negatif ataupun positif.
Kesimpulannya, perubahan sifat media sosial dari positif ke negatif itu tergantung kita sendiri sebagai konsumen konten-konten media sosial. Tergantung kondisi, situasi, dan pola pikir kita, konten di media sosial bisa berpengaruh positif atau negatif.
Sayangnya, kita tidak bisa mengendalikan konten yang terpublikasi. Kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada di lingkup diri kita: respon dan pola pikir.
Menurut saya, perasaan insecure dan rendah diri yang saya rasakan terjadi karena saya belum bisa mengendalikan respon dan emosi. Alhasil, saya perlu menguatkan kendali di dalam diri supaya perasaan negatif ini tidak muncul kembali.
Be the first person to like this.
Saat ini, kita hidup di dua dunia sekaligus: nyata dan maya. Perbedaan dua dunia ini sangat jelas. Kita tak bisa menciptakan realita versi kita di dunia nyata, tetapi dunia maya membuka ruang untuk itu.
Contoh, ketika membuka media sosial, kita bisa mengatur postingan apa yang ingin kita tampilkan ke publik, baik dalam bentuk story dan foto. Filter yang ada di media sosial pun bisa membuat kita mengatur penampilan kita sesuka hati.
Selain itu, di media sosial kita bisa jadi seorang komentator ulung. Selalu berkomentar tentang berbagai isu. Sementara di dunia nyata, kita menjadi seorang yang bisu. Mulut terbungkam, tak punya keberanian untuk berdebat.
Kemudian, muncul metaverse, sebuah dunia dengan banyak potensi. Metaverse membawa prinsip dunia nyata ke dalam kehidupan digital dengan kebebasan eksplorasi yang sangat besar.
Metaverse menggabungkan augmented reality dan virtual reality untuk menciptakan real-world experience bagi penggunanya. Dengan membuat avatar yang mewakili kepribadian, kita dapat menjelajah dunia yang disajikan oleh metaverse.
Tentu metaverse punya segudang dampak positif. Kita bisa melakukan meeting tanpa perlu pergi ke kantor; kita bisa mengakses materi pembelajaran dan menikmati pendidikan di manapun dan kapanpun, serta kita bisa menikmati banyak hiburan.
Bahkan, kita bisa menonton konser artis ternama di dunia metaverse. Ariana Grande dan grup band Easy Life pernah menggelar konser di dunia metaverse. Banyak avatar yang hadir tanpa perlu ke New York atau Los Angeles.
Sayangnya, ada beberapa concern terhadap metaverse. Pertama adalah soal kekosongan hukum. Ketika metaverse terlihat bentuk sejatinya, satu pertanyaan mendasar adalah bagaimana praktik hukum di sana? Apakah pemerintah punya kuasa untuk membuat regulasi atau justru metaverse akan bergerak berdasarkan hukum dari perusahaan?
Concern lain yang muncul adalah soal menjadikan dunia online sebagai utopia dan semacam wadah untuk melarikan diri dari dunia nyata.
Dunia Ideal Generasi Z
Ada sebuah riset menarik dari Razorfish yang berkolaborasi dengan VICE Media yang terbit tahun 2022 ini. Mereka meneliti tentang bagaimana sikap generasi Z yang gemar bermain video games di Amerika Serikat tentang metaverse.
Hasilnya sangat menarik: 52% generasi Z merasa menjadi diri sendiri di dunia metaverse dibandingkan di kehidupan nyata, dan 45% merasa bisa mengeksplorasi diri di metaverse.
Selain itu, generasi Z beranggapan jika siapa dirinya di dunia online akan punya pengaruh terhadap identitas dirinya di dunia nyata. Mereka juga menghabiskan 12,2 jam waktunya untuk bermain game.
Bagi 65% generasi Z, game online membuat mereka bisa mengembangkan hubungan baru dengan sesama gamers dan 65% menganggap hubungan tersebut sama bermaknanya di dunia nyata.
Selain itu, dunia metaverse juga memungkinkan kita mencari uang. Sebanyak 52% generasi Z memang ingin metaverse jadi tempat buat mencari uang.
Dunia maya bagi generasi Z adalah extension of reality. Dari studi ini, generasi Z lebih memilih menghabiskan banyak waktu di dunia metaverse.
Sikap mereka bukan tanpa dasar. Saat ini pun banyak orang bisa menghasilkan uang dengan berkarya lewat dunia digital. Profesi Content Creator dan Influencer dunia maya bisa menghasilkan uang dengan jumlah yang fantastis dengan mengandalkan jumlah penonton.
Jika sekarang saja dunia maya bisa berpengaruh positif bagi generasi Z, metaverse bisa merealisasikan kemungkinan tersebut dan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi.
Kemungkinan, generasi Z akan hidup seperti di film Ready Player One. Mereka akan bertemu di dunia maya dengan avatar yang telah dibuat sesuai keinginan. Avatar memang merepresentasikan diri kita yang ideal, tetapi tidak menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Sebuah identitas yang semu tanpa makna.
Kita akan berkenalan dan melaksanakan misi, seakan misi itu jauh lebih penting dibandingkan kehidupannya di dunia nyata.
Alhasil, metaverse menjadi sebuah pelarian yang nyaman. Sebuah dunia utopia yang akan ramai dikunjungi oleh generasi Z di masa depan. metaverse menyediakan semuanya untuk generasi: tempat untuk bersenang-senang, bercengkerama, sekaligus mencari uang.
Kecanduan
Namun, sikap seperti ini akan membuat generasi Z jauh dari dunia nyata dan lebih nyaman berada di dalam rumah. Dengan segudang potensi, metaverse bisa membuat kita kecanduan. Sama seperti saat kita lebih memilih bermain smartphone dibandingkan berinteraksi dengan orang-orang.
Dunia nyata akan menjadi tempat yang sepi. Generasi Z akan tercerabut dari realita.
Bisa jadi ke depan kita akan menderita metaverse overdependence. Di Korea Selatan saja, masalah kecanduan internet direspon sangat serius oleh pemerintah.
Bahkan, hampir 40% anak muda Korea Selatan teridentifikasi smartphone overdependence.
Oleh karena itu, pemerintah Korea Selatan membuat Internet Addiction Prevention Centres. Tujuannya untuk melakukan detoksifikasi terhadap kecanduan internet dan menggunakan smartphone dengan lebih baik.
Jika Metaverse hadir, bisa jadi, pemerintah akan membuat Metaverse Addiction Camp.
Metaverse memang masih dalam tahap pengembangan, tetapi hanya masalah waktu hingga metaverse menjadi tempat pelarian bagi generasi Z.
Generasi Z mungkin juga akan mengalami Hikikomori, sebuah kondisi di mana anak mudanya lebih nyaman di rumah dan tidak ingin keluar dalam waktu lebih dari enam bulan.
Alasannya, menurut Profesor Saitō dari Universitas Tsukuba, karena hidup mereka tidak punya makna dan value. Sangat mungkin bagi generasi Z mengalami Hikikomori. Tetapi bukan karena hidup mereka tidak punya value, melainkan terlalu nyaman terkoneksi dengan metaverse.
Dan mungkin pekerjaan untuk membuat anak muda keluar rumah akan menjadi profesi baru di masa depan.
Rizky Ridho Pratomo
*Seorang Content Writer di Yayasan Generasi Literat, sebuah yayasan yang bergerak di isu pendidikan, literasi, dan perdamaian. Menyukai isu futuristik seperti bioteknologi, AI, keamanan data.