Kiranya semua orang mengenal kota ini. Kota yang dikenal dengan makanan khasnya, tempat pariwisata, penduduk yang ramah dan kampus-kampus yang menjadi incaran siswa yang baru saja menyelesaikan masa-masa SMA nya, itulah kekhasan Kota Yogyakarta.
Gudeg adalah makanan fovorit di kota ini. Maka tak heran jika kota ini dijuluki dengan Kota Gudeg. Saking kayanya akan tempat pariwisata, maka tak heran jika kota ini dikenal sebagi ikon Wonderful Indonesia. Bahkan orang-orang yang belum pernah bertandang secara langsung ke kota ini mengira bahwa Candi Borobudur dan Prambanan terletak di Yogyakarta. Selain itu, Yogyakarta juga dikenal sebagai Kota Pelajar.
Dengan alasan-alasan itulah banyak orang dari Sabang sampai Merauke ingin melangkahkan kakinya ke Kota Yogyakarta, baik untuk mencicipi makanan khasanya, jalan-jalan, atau belajar. Bahkan ketika sudah bertandang ke kota ini, tak jarang banyak orang yang enggan meninggalkannya. Dengan latar belakang demikian kita dapat melihat bagaimana keberagaman dari setiap orang yang berkumpul di lingkaran kota ini.
Keberagaman yang dimaksud yaitu latar belakang bahasa daerah, suku, agama, dan keyakinan. Mungkin di kota lain agaknya kita kesusahan mencari keberagaman ini. Sehingga, ketika kita berada di kota ini menjadi sebuah privilege bagi kita untuk memahami indahnya Indonesia dengan keberagaman warga negaranya.
Misalnya saja, di Yogyakarta kita bisa dengan mudah menemukan orang-orang dengan agama Katolik di Universitas Atmajaya, orang-orang dengan agama Protestan di Universitas Kristen Duta Wacana, dan orang-orang Islam dengan berbagai alirannya di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta kita bisa menemukan keberagaman itu di kampus-kampus lain.
Dalam hal ini, kita bisa mengenal lebih dalam, menjalin relasi baik, dan belajar banyak perspektif dengan orang-orang yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat. Selain itu kita juga bisa berjumpa dengan orang-orang latar belakang suku Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Dayak, Asmat, Bugis, Madura, Nias, dan lain-lain yang bisa dengan mudah kita temui di kampus-kampus maupun tempat wisatanya seperti di Malioboro.
Meskipun kita tidak dapat memungkiri bahwa akhir-akhir ini marak kasus intoleransi, hal tersebut tentunya tidak mengendorkan semangat persaudaraan umat beragama di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Beberapa praktik baik dalam pluralisme yang terjadi di Yogyakarta di antaranya adalah jelang perayaan Imlek 2022 di Klenteng Fuk Ling Miau yang terletak di Gondomonan. Sejumlah elemen masyarakat dengan berbagai macam latar belakang agama dan budaya turut serta bersama-sama membersihkan tempat ibadah tersebut sebagai gambaran toleransi antarumat beragama.
Selain itu, di Yogyakarta kita bisa dengan mudah menemukan doa lintas agama. Misalnya salah satu doa lintas agama yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Nusantara pada bulan Februari tahun 2022 yang bertajuk “Bumi Rumah Bersama, Satukan Tangan Hadapi Perubahan Iklim dan Pandemi Covid-19” di Taman Wisata Candi Prambanan, di mana doa bersama tersebut dibacakan oleh enam pemuka agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Tak berhenti di situ, kita juga bisa melihat banyaknya paktik baik antarteman kos. Teman saya, Aisyah, adalah salah satu orang yang berencana menetap untuk tinggal di Yogyakarta setelah menyelesaikan studi Strata-1 nya. Ia berasal dari Nusa Tenggara Barat. Aisyah bersahabat dekat dengan salah seorang kawannya yang berasal dari Sumatera. Seorang kristiani. Di kos sahabatnya itu tersimpan alkitab dan salib yang terpampang. Dalam kitab sucinya itu terselip selembar kertas nama Aisyah yang sebelumnya diawali kata-kata: “Ya Tuhan berkatilah orang-orang ini”.
Malam itu, sekitar pukul 19.00 WIB, sahabat Aisyah tersebut mematikan lampu kamarnya dan mulai menyalakan sebuah lilin. Terasa hening dan hangat malam itu. Laki-laki yang duduk bersilang menghadap salip dan lilin disertai kedua tangannya yang mengepal, membaca selembar demi selembar kitab yang ada di depannya. Ia duduk bersilang sekitar empat puluh lima menit, lalu kembali menyalakan lampu kamarnya.
Dalam hal ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa ketika kita memilihara perbedaan, maka kita akan mendapatkan kisah yang berbeda pula. Walaupun berbeda dalam cara beribadah dan berdoa tapi yakin dan percayalah bahwa setiap doa yang dilantukan itu demi kebaikan. Aisyah sangat terharu ketika mengetahui apa yang dilakukan sahabatnya.
Praktik baik dalam merawat pluralisme di Yogyakarta tentunya menjadi contoh baik untuk diterapkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Bahwa keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini adalah suatu kekayaan yang harus terus dirawat. Karena dengan keberagaman inilah kita bisa saling mengasihi satu sama lain.
AUTHOR
Ari Surida
Be the first person to like this.
Di tengah ramainya orang berkampanye yang semakin hari semakin panas, hari-hari ini kita disejukkan, jika bukan malah semakin dipanaskan, oleh Piala Dunia. Semua orang tahu, Indonesia dipadati oleh penggemar sepak bola. Meski tidak pernah ada prestasi gemilang yang pernah dicapai oleh negeri ini dalam hal sepak bola, namun masyarakatnya sungguhlah penggila sepak bola.
Betapa tidak, orang bisa dengan bersemangat bangun pada dini hari untuk menegakkan kekhusyukan menonton sepak bola. Ditambah dengan waktu yang dihabiskan untuk membaca, mengulas, dan membincangkannya. Sehingga semua penonton sepak bola adalah pengamat atau ahli, mereka bisa membuat analisis sendiri, memprediksi, bahkan membuat abstraksi.
Di media massa, selama Piala Dunia berlangsung, banyak dijumpai artikel dan tulisan mengenai Piala Dunia. Abdurrahman Wahid, di masa hidupnya, adalah salah satu kolumnis sepak bola yang produktif. Sepanjang Piala Dunia 1994, Gus Dur, secara rutin menulis artikel berisi analalisis pertandingan di harian Kompas.
Gus Dur menulis topik sepak bola, sependek pengetahuan saya, dimulai sejak tahun 1978. Saat itu Gus Dur menulis untuk harian Kompas dengan judul Si Awam dan Piala Dunia. Artikel-artikel lepas Gus Dur tentang sepak bola dicirikan dengan semangatnya untuk mengaitkan pada kondisi sosial (eskapisme, land reform, pembangunan, dan lain-lain).
Hanya pada seri Piala Dunia 1994 tersebut, Gus Dur lebih banyak berbicara pada aspek teknis dan taktis. Misalnya ketika ia menganilisis permainan Argentina yang menurutnya secara taktis akan lebih berkembang membaik justru ketika Maradona tidak lagi bermain. Di kesempatan lain Gus Dur juga mengomentari munculnya kuda-kuda hitam di Piala Dunia 1994 itu, yang bertarung membanggakan namun pada akhirnya harus tetap kalah, seperti tim Rumania, Swedia, dan Mesir.
Dalam memberikan analisis tentu saja Gus Dur tidak dipandu dan dibantu oleh data-data canggih dan rumit yang kini banyak digunakan para pundit sepak bola. Di masa sekarang, data statistik pertandingan sepak bola tidak lagi sederhana yang hanya bersi tentang berapa kali bola ditembakkan ke gawang, berapa katu kuning, dan berapa kali sepakan pojok; namun lebih lengkap dengan berapa kali setiap pemain menyentuh bola, jarak yang ditempuh setiap pemain, hingga heat map masing-masing pemain di lapangan bola. Meskipun demikian, membaca tulisan-tulisan Gus Dur kita bisa melihat karakter tim-tim yang bertanding saat itu.
Secara umum, sebagaimana disimpulkan sendiri oleh Gus Dur, Piala Dunia 1994 secara umum lebih mempertontonkan sepak bola pragmatis, yang penting menang. Sambil menikmati laga-laga Piala Dunia 2022 yang menurut saya jauh lebih menarik ketimbang Piala Dunia 1994, kita bisa bernostalgia menikmati dua tulisan Gus Dur tentang sejumlah hal di Piala Dunia 1994 tersebut. Satu tulisan mengenai kebanggan tim-tim underdog, satu tulisan lagi tentang pertandingan final yang terkenal menjemukan itu. Selamat menikmati.
___________________
ANTARA KEBANGGAAN DAN KEKECEWAAN
KOMPAS - Senin, 18 Juli 1994 Halaman: 1
Abdurrahman Wahid
Ketika Belgia dikalahkan dalam pertandingan semifinal putaran akhir piala dunia beberapa tahun yang lalu, rakyat Belgia justru menyambut kepulangan mereka dengan penuh antusiasme. Mereka bersyukur atas kemampuan tim kesayangan mereka untuk sampai ke putaran tersebut, dan tidak melihat lebih jauh dari itu. Kekalahan pada level yang tidak terduga sebelumnya dapat diraih, adalah sebuah kehormatan. Bahkan putaran akhir Piala Dunia 1990 menyajikan kebanggaan rakyat Mesir akan prestasi tim nasional mereka, yang mampu menahan Belanda dengan angka seri 0-0. Padahal waktu itu ada trio top Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Tak heran bila Presiden Husni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional.
Orang Mesir berhak saja untuk merasakan hasil imbang itu sebagai prestasi luar biasa. Kalau para penyerang Mesir tidak dapat menembus benteng pertahanan Belanda Adrie van Teglen, Ronald Kumann, dan Woutres, bukanlah berita besar. Hanya Italia dan Jerman Barat saja yang dapat menggedor pertahanan tim Oranye waktu itu. Tetapi bahwa trio penyerang Belanda di atas tidak dapat menembus pertahanan Mesir, itu adalah berita yang luar biasa bagi rakyat negeri lembah Sungai Nil itu.
Sebaliknya, kegagalan Jerman mengalahkan Bulgaria dalam putaran akhir piala dunia kali ini tentu menimbulkan kekecewaan sangat besar di negeri Bir tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa memang tim Jerman sudah mandul dan tidak produktif lagi. Buktinya, gol balasan tunggal Jerman itu pun tercetak dari tendangan dua belas pas hasil akal-akalan Juergen Klinsmann yang menjatuhkan diri di kotak penalti lawan. Bukannya hasil kombinasi serangan yang tajam dan efektif dari para gelandang menyerang Jerman yang dialirkan melalui dua ujung tombak Klinsmann dan Rudi Voeller.
Apa pula kekalahan Argentina yang menyesakkan dada Basile dan tim asuhannya dalam putaran perempat final Piala Dunia 1994 ini. Tim Argentina jelas lebih unggul dalam penguasaan teknik atas bola, dan secara keseluruhan lebih baik kualitas para pemainnya. Katakanlah sebuah kesebelasan tingkat A berhadapan dengan kesebelasan yang waktu itu masih dianggap pada taraf tingkat B plus, atau maksimal A minus. Namun dalam kenyataan, gol perolehan Argentina memang kalah banyak, dan dengan demikian tim cemerlang itu harus rela tersingkir lebih dini dari yang diduga.
Walaupun Belanda kali ini dikalahkan dalam putaran perempat final dan bukannya semifinal, namun kekecewaannya tidaklah begitu besar. Pertama karena memang tim tersebut adalah "rakitan baru" yang belum jauh berkembang. Hasil itu pun sudah merupakan ketepatan arah pengembangan strategi yang ditempuh pelatih Dick Advocaat. Sebab lain yang membuat kekecewaan tidak begitu besar adalah kenyataan pemenang yang mempecundangi Belanda itu adalah Brasil, yang sedang berada puncak siklus yang secara maksimal dapat dicapai pada saat ini. Kualitas pertandingan tersebut juga menampilkan sajian yang dapat dianggap sebagai "final sebenarnya" (real final) putaran akhir Piala Dunia 1994 ini.
Sebaliknya, pertandingan perempat final melawan Swedia hasilnya sangat menyesakkan dada bagi Rumania. Kepiawaian mereka mengalahkan berbagai tim puncak dunia dalam putaran penyisihan dan perdelapan final ternyata dihentikan oleh tembok pertahanan Swedia yang dikombinasikan dengan serangan balik yang efektif oleh trio Thomas Brolin, Martin Dahlin, dan Kennet Andersson. Efektivitas serangan Hagi dan Raducioiu, dikombinasikan dengan ketajaman gebrakan Pupescu dan Lupescu, yang bahkan masih ditunjang oleh gebrakan maut dari Dumitrescu, ternyata sia-sia saja hasilnya. Terkumpulnya "kaki penyerang" (attacking feet) di kubu Rumania sebanyak itu tidak mencapai momentum cukup untuk meloloskan tim itu ke putaran semifinal.
Sesak napas yang menyakitkan juga dirasakan oleh Swedia, dalam pertandingan berikutnya. Setelah berhasil mengembangkan cara bertahan yang efektif menghadapi ketajaman para penyerang Brasil, tim asuhan Tommy Svensson itu harus menelan kenyataan pahit tembok pertahanannya dihancurkan Brasil akibat diusirnya kapten Jonas Thern ke luar lapangan oleh wasit. Setelah mampu mengimbangi permainan Brasil selama 80 menit dan membuat frustasi para penyerang lawan sekaliber Romario dan Bebeto, alangkah sesak dada Brolin dan kawan-kawan oleh kemalangan tersebut.
Berangkat dari kenyataan inilah, harus dimengerti ucapan Thern seusai pertandingan, bahwa pertandingan penentuan tempat ketiga dan keempat melawan Bulgaria tidak ada artinya. Menurut Thern yang kemudian diperkuat Svensson, sangat sulit membangkitkan kegairahan bertanding semaksimal mungkin setelah mengalami kekecewaan demikian berat. Bahkan mereka sempat mengeluarkan sebuah usulan agar pertandingan seperti itu ditiadakan saja dalam kompetisi akbar sejagat tersebut. Seperti halnya dalam putaran akhir Piala Eropa. Jadi lampu sorot hanya terpusat pada mereka yang memenangkan putaran semifinal, bukannya yang kalah.
Namun, luapan emosi itu ternyata tidak diikuti oleh kejatuhan semangat juang tim Swedia tersebut. Tim asuhan Svensson memenangkan posisi ketiga putaran akhir Piala Dunia 1994, dengan menundukkan Bulgaria melalui skor telak 4-0. Swedia tampil dengan keyakinan penuh akan apa yang dicarinya: pembuktian bahwa strategi bertahan-plus-serangan-balik secara kreatif adalah sebuah cara bermain bola yang efektif. Kekalahan dari Brasil karena kemalangan dikeluarkannya kapten kesebelasan Thern dari lapangan, tidak mengurangi keabsahan strategi yang diterapkan Svensson itu.
Keyakinan itulah yang membuat Swedia lalu mengamuk bagaikan banteng ketaton dan memenangkan pertandingan tersebut, walaupun tentu saja didukung oleh tidak jelasnya bagaimana keinginan Bulgaria untuk memenangkan pertandingan akan diwujudkan. Serangan-serangan tanpa tujuan yang jelas dari pihak Bulgaria sudah tentu tidak akan dapat menjebol ketatnya pertahanan Swedia kala itu. Tanpa kapten Thern, kualitas tim Swedia ternyata tetap unggul dan sanggup memberikan legitimitas kepada strategi pelatih Svensson.
Sungguh tipis batas antara kekecewaan dan kebanggaan dalam hal ini. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan validitas strategi permainan yang dianut tim. Dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola? Sepak bola merupakan bagian kehidupan, atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepak bola.
MENGENDALIKAN, TETAPI KALAH
KOMPAS - Selasa, 19 Juli 1994 Halaman: 1
Abdurrahman Wahid
PERTANDINGAN final Piala Dunia 1994 ternyata merupakan kebalikan dari perkiraan orang. Bukannya permainan menyerang yang tuntas yang dipertontonkan, melainkan serangan setengah hati yang dibiarkan pudar begitu tampak ada resiko serangan balik dari pihak lawan. Kelebihan teknik bermain individual para pemain Brasil dibiarkan tidak tersalurkan secara optimal dalam rangkaian gempuran atas wilayah pertahanan Italia. Sebaliknya, serangan Italia hanya satu dua saja yang berbahaya bagi penjaga gawang Brasil Taffarel.
Pelatih Brasil Carlos Alberto Parreira ternyata tidak mampu melepaskan diri dari "jeratan laba-laba" yang dipasang Arrigo Sacchi, pelatih tim Italia. Sacchi menurunkan tempo permainan dan membiarkan bola berputar-putar di lini tengah belaka, dan terus menerus diperebutkan oleh para gelandang. Begitu bola berada di kaki pemain tengah Brasil, segera diupayakan oleh para pemain tengah Italia untuk merebutnya. Tujuan taktik ini adalah untuk tidak membiarkan bola dikirim ke depan, kepada para penyerang Brasil.
Dengan demikian, upaya mengurangi ketajaman gedoran barisan penyerang Brasil yang terkenal tajam itu, dilakukan secara optimal. Sama dengan taktik yang dilakukan Tommy Svensson dalam mengarahkan tim Swedia ketika menghadapi Brasil dalam pertandingan semifinal, walaupun dengan cara yang berbeda.
Dengan cara itu barisan tengah Brasil tidak mampu mengirim bola-bola akurat yang dibutuhkan duet penyerang Romario-Bebeto. Tercatat hanya sekali terjadi serangan berbahaya oleh kedua ujung tombak Brasil itu dalam sebuah kerja sama sangat rapi. Itu pun gagal membuahkan gol, karena akuratnya penjagaan zonal dari Paolo Maldini.
Cara membuat bola "mogok di lini tengah" adalah cara yang seringkali dipakai dalam pertandingan antara dua buah tim yang berkekuatan seimbang dalam kompetisi seri A Liga Italia. Sangatlah mengherankan, bahwa Sacchi bisa memanfaatkan strategi "positif-tapi-macet" itu secara demikian efektif dalam pertandingan akbar seperti final Piala Dunia.
Dan juga sangat mengherankan, bahwa Parreira tidak mampu menembus pola yang menjemukan itu, padahal justru pihak Brasil yang memerlukan dobrakan-dobrakan kreatif. Sebaliknyalah yang justru terjadi karena pihak Brasil justru memusatkan serangan hanya melalui duet Romario Faria dan Bebeto. Para pemain sayap dan gelandang menyerang seolah-olah dilarang membuat tembakan langsung ke gawang Gianluca Pagliuca.
Dengan demikian menjadi lebih mudahlah Paolo Maldini dan kawan-kawan mematahkan serangan-serangan Brasil. Apalagi Benarrivo lebih berinisiatif mencegat bola-bola yang dikirim dari lini tengah Brasil ke wilayah pertahanan Italia, karena antisipasi Paolo Maldini terhadap terobosan tiba-tiba Bebeto maupun Romario sangatlah besar. Daya jelajahnya yang besar membuat Benarrivo mampu membuat rancu upaya-upaya untuk lebih mengefektifkan kedua ujung tombak ampuh Brasil itu.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam strategi memacetkan serangan lawan yang diterapkan Sacchi itu, tetapi yang mengherankan adalah justru kegagalan Parreira untuk mencari jalan mengatasinya. Besar kemungkinan Parreira tidak berani mengambil resiko terlalu besar dengan mendorong lebih banyak pemain tengah untuk maju ke depan, memasuki wilayah pertahanan Italia.
Yang ditakutinya sudah tentu adalah kemungkinan serangan balik yang tiba-tiba dan efektif dari pihak Italia. Apalagi di ujung tombak ada Roberto Baggio dan Daniel Massaro. Reaksi sangat berhati-hati dari Parreira ini adalah contoh klasik dari psikologi ketakutan (psychology of fear) yang menghinggapi pengambil keputusan di bidang apa pun, di saat-saat menghadapi situasi kritis. Berarti Sacchi mampu mengendalikan cara berpikir Parreira, di samping tim asuhannya mampu menerapkan pola "penjenuhan lapangan tengah" atas tim Brasil.
Hilangnya peluang mengembangkan kreativitas individual itu, karena sikap mental pasif yang diterapkan Parreira untuk meredam ancaman Italia, sangat mempengaruhi penampilan para pemain Brasil, terutama kedua ujung tombak Romario-Bebeto dan para gelandang menyerang seperti Mazinho dan Dunga. Apalagi sebagai pembagi bola Dunga tidak berusaha menyerang sendiri dengan berperan sebagai second striker. Kalau saja Rai yang dipasang mungkin hal itu dilakukannya dan serangan Brasil akan menjadi lebih hidup.
***
PADA sisi inilah tampak juga kurangnya keberanian Parreira untuk memperhitungkan faktor penampilan Roberto Baggio. Penyerang top itu sedang berada di bawah form, karena cidera yang dideritanya. Mestinya hal itu telah terlihat oleh Parreira dan para pemain tengah Brasil pada perempat terakhir pertandingan didorong agak lebih maju sedikit ke depan. Bukannya dengan menggantikan Mazinho dengan Viola.
Sebagai penggiring bola, pemain muda ini memang memikat dengan giringan-giringan (dribbles) cantiknya. Tetapi yang mampu menembakkan bola secara tiba-tiba. Dan itu berarti Rai yang harus dipasang, bukannya Viola.
Di pihak lain, pengendalian Sacchi atas tempo pertandingan juga tidak berguna banyak bagi tim Itali. Berbeda dengan pengendalian tempo permainan oleh tim Swedia ketika menghadapi Brasil, yang menghasilkan serangan-serangan balik cukup berbahaya bagi gawang lawan. Bedanya adalah para peranan Tomas Brolin yang berani maju ke depan mendampingi dua ujung tombak Martin Dahlin dan Kennet Andersson.
Seharusnya Sacchi bisa melakukan hal yang sama, dengan mendorong Dino Baggio untuk melapis serangan-serangan Roberto Baggio dan Daniele Massaro, sebagai second striker. Sayang hal itu tidak dilakukan, sehingga serangan-serangan Italia menjadi tumpul.
Keengganan Sacchi untuk menuntaskan pola serangan Italia tentu juga timbul dari ketakutannya sendiri akan akselerasi tiba-tiba yang dahsyat dari Romario-Bebeto. Jelas dari yang diuraikan di atas betapa kedua pelatih lebih dicengkam oleh ketakutan masing-masing kelangsungan pola "penjenuhan lapangan tengah" oleh Italia itu.
Walaupun qua teknik permainan individual jalannya pertandingan tetap mengasyikkan, tapi qua strategi sepak bola jalannya pertandingan menunjukkan turunnya mutu permainan final sebuah pesta akbar seperti piala dunia. Apalagi masih ditambah oleh sikap super hati-hati Sacchi, yang secara konvensional menetapkan kapten kesebelasan sebagai algojo pertama dalam tahap adu penalti.
Franco Baresi jelas tidak berada dalam keadaan fit untuk sepenuhnya siap melaksanakan tembakan maut. Begitu juga dengan Roberto Baggio yang kaki kanannya penuh ditempeli plaster akibat cidera dalam pertandingan semifinal. Beberapa peluang Italia untuk memasukkan bola gagal dimanfaatkan Roberto Baggio, karena kebetulan bola tiba di saat kaki kanannya itu yang bebas. Tembakan dengan kaki sakit itu tampak lemah sekali dan tidak tepat arah seperti dikehendaki penembaknya sendiri.
Heran sekali bukannya penembak ulung lain yang tugasi Sacchi untuk menjadi algojo, melainkan justru Roberto Baggio yang sedang tidak fit seperti itu. Jelas itu karena kecenderungan seorang pengambil keputusan yang lebih menekankan cara konvensional daripada cara inovatif dalam menghadapi saat-saat kritis.
Salah satu teka-teki yang sulit dijawab dalam dunia sepak bola adalah mengapa seorang pelatih sekaligus seorang pengatur strategi, dengan kecenderungan-kecenderungan menyerang dapat saja tiba-tiba menjadi begitu defensif, seperti dibuktikan Parreira dan Sacchi dalam pertandingan final Piala Dunia 1994? Dan mengapakah pelatih "jago bertahan" seperti Tommy Svensson dari Swedia dapat tiba-tiba menyusun strategi serangan balik yang efektif.
Hal yang sama terjadi pada Herera, pelatih Italia dan pencipta sistem "pertahanan tembok" (catenaccio) yang terkenal sekitar dua dasawarsa yang lalu. Bahwa Svensson dapat menerapkan arus serangan balik dalam frekuensi lebih tinggi, tetapi tetap mengambil dari "hal yang dicontohkan" Herera itu, merupakan sebuah perkembangan positif bagi sepak bola dunia. Sedangkan mundurnya Parreira dan Sacchi dari pola serangan bergelombang yang tuntas, justru merupakan perkembangan negatif. (*)
AUTHOR
Heru Prasetia
Be the first person to like this.
Ufuk timur berkilau menandai fajar hendak merekahkan senyumnya
Semalam angin gurun terasa lembut membasuh semesta
Seakan seluruh sayap malaikat rahmah memeluk hangat jagad raya
Dikelilingi para wanita suci dan bidadari surga
Aminah melahirkan bayi seputih salju
Wajahnya memancarkan cahaya surga
Bibirnya mengulaskan senyum kasih ke sekelilingnya
Lelah si ibu meleleh dalam keindahan sang putra
Salam padamu wahai manusia kinasih Allah
Kelahiranmu mendentangkan lonceng surga
Hajatan semesta menyambut manusia samudera rahmah
Para malaikat mencemburuimu karena tidak mungkin melampaui kemuliaanmu
Cahayamulah yang membuat tak ada menjadi ada
Salam kepadamu wahai semulia-mulianya ciptaan
Yatim telah ditetapkan sejak engkau dalam kandungan
Mukjizatmu membuat pasukan Abrahah remuk di atas gajah
Kelahiranmu adalah anugerah terindah umat manusia
Kehadiranmu adalah indahnya sebuah cinta
Rinduku tak terperi padamu wahai al-Musthafa
Langkahmu adalah kedamaian
Lambaian tanganmu adalah pelukan kasih sayang
Senyummu adalah permata terindah
Ucapmu adalah nafiri surga yang dianugerahkan Allah sebelum tibanya
Jika saat ini kami memanggil-manggil namamu tanpa kesanggupan menebar cinta
Maafkan kami yang mendaku mencintaimu tapi sering gagal membuang kebencian dari dada
AUTHOR
Ahmad Zainul Hamdi
Be the first person to like this.
Aku melihat jam dinding. Pukul sebelas lebih dua puluh lima. Suara hujan disertai petir menggelegar, menggetarkan seluruh bagian dinding rumah. Listrik padam. Sesekali ruangan terang oleh kilat yang menyala. Kulirik Somad, adikku, tertidur pulas di pelukan ibu. Rasa kantuk sulit sekali datang. Petir membuatku takut. Tetapi, ketakutanku menunggu kabar ayah mengalahkannya.
“Maryam, tidur,” ucap ibu setengah parau menahan kantuk.
“Ayah kapan pulang, Bu?” aku khawatir.
“Sebentar lagi,” jawab ibu singkat. Aku mendekati ibu dengan jantung berdebar.
“Ayah bertugas ke luar kota. Jaraknya jauh, jadi ayah pulang terlambat”.
Penjelasan ibu tidak membuatku puas. Bahkan rasa khawatir semakin besar. Bagaimana ayah pulang dengan motor bututnya. Jalanan pasti licin, belum lagi arah menuju rumah yang belum diasapal dan berlumpur. Terlebih, ini pertama kalinya ayah pulang terlambat, bahkan sampai tengah malam.
Tiba-tiba terlintas dalam benakku kejadian beberapa hari lalu. Ayah dan ibu marah, gara-gara ceritaku meneriaki mobil yang hilir-mudik membawa bendera. Aku berjoget meledek sambil berteriak lantang.
“Bendera kuning hebat pilihanku! Bendera kuning pilihanmu! Merah pilihanmu!”
Tidak seperti yang aku kira, ibu akan marah. Ayah ikut menambahkan.
“Kalau ayah dipanggil ke balai desa karena kamu bertindak begitu, bagaimana?”
Nyaliku menciut. Mataku sempat berkaca-kaca saat itu. Padahal menurut pak guruku, dari bendera lainnya, bendera kuning berlambang beringin memang paling hebat. Buktinya bendera itu berkibar di mana-mana. Aku semakin percaya dengan kata-kata pak guru. Tetapi apa alasan ayah dan ibu bersikap demikian.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, ayah kedatangan tamu asing di Minggu sore. Tiga orang laki-laki berbadan kekar. Setelah menyuguhkan kopi, ibu duduk di teras belakang. Kemudian ibu menyuruhku mencari Somad yang sedang bermain entah di mana.
“Jangan lewat pintu depan,” pesan ibu. Aku menurut. Setelah menyusul Somad pulang. Kami duduk bersama ibu. Wajah ibu terlihat khawatir, sementara Somad berada di pangkuannya. Tidak lama kemudian ayah muncul dengan wajah pucat.
“Mereka sudah pulang?” tanya ibu cemas. Ayah mengangguk pelan. Melihat ekspresi ayah, ibu segera mengambil segelas air putih untuk ayah. Setelah meneguk segelas air. Wajah ayah terlihat sedikit tenang. Namun, pandangannya masih terlihat kosong. Ibu semakin cemas. Somad rupanya ikut ketakutan, ia meminta digendong ibu. Aku pun demikian, meskipun tidak tahu apa yang membuat ayah terlihat takut, detak jantungku berirama semakin cepat. Lama terdiam, mulut ayah akhirnya terbuka. Bibirnya bergetar, kalimatnya terdengar lirih.
“Mereka datang atas perintah Pak Karto”.
Mendengar nama Pak Karto aku teringat Kiai Harun, guru ngajiku. Beberapa tahun yang lalu beliau pernah dikonfrontasi oleh Pak Karto tanpa sebab yang jelas. Padahal, setiap hari hanya mengajar ngaji dan bertani. Kiai Harun juga berperilaku baik dan santun kepada siapa pun. Beliau didatangi beberapa pria bertubuh kekar suruhan Pak Karto. Lumbung padinya diobrak-abrik. Tetangga tidak ada yang berani membantu apalagi melawan.
Pada Jumat siang setelah kejadian itu Pak Karto datang ke masjid. berpidato di hadapan orang-orang saat khutbah, bahwa kalau mau masuk surga harus kenyang, biar ibadahnya ikhlas. Kalau mau kenyang harus mau membantu program pemerintah. Kalau ada kiai menentang penguasa adil, itu namanya kiai zalim. Kebetulan aku sedang bermain bersama teman-teman di pelataran masjid, ikut menyaksikan.
Belakangan, diketahui kalau Kiai Harun tidak menjual gabahnya ke koperasi desa.
“Kenapa gabahnya tidak dijual ke koperasi, Kiai?” tanya ayah. Ayah sempat bertemu Kiai Harun karena khawatir. Kiai Harun tersenyum tipis.
“Bukankah kita harus mendukung program pemerintah yang mencanangkan beras murah, seperti apa yang dikatakan oleh Pak Karto?” ayah menambahkan.
“Aku tidak menjual gabahku, akan kuberikan kepada mereka yang lapar”.
Ayah tersenyum menunduk karena malu dengan jawaban sederhana Kiai Harun.
***
Aku juga teringat peristiwa lain. Saat aku dan ayah naik kendaraan umum hendak ke Kota. Kami melihat sosok pemuda dengan mata merah sempoyongan. Mengenakan celana jeans serta jaket kulit, lehernya terbelit saputangan merah. Sesekali kaki bersepatu boots miliknya menghentak, mengagetkan penumpang lain, termasuk aku. Aku mendekap lengan ayah. Tidak berani memandang ke arah pemuda tadi. Ia terus meracau membuat suasana tidak nyaman.
Perasaan lega menghampiri ketika pemuda tadi turun. Lalu suasana hening yang semula hadir mulai pecah.
“Semoga pemuda itu baik-baik saja," cetus seorang lelaki paruh baya. Membuat mata penumpang lain berpandangan.
“Semoga,” tukas seorang perempuan berambut pendek.
“Kulihat ada tato di tangannya."
“Dan saputangan di leher," imbuh yang lain. Seketika perasaan ngeri menyergap di antara kami. Suasana sunyi yang tidak biasa. Aku mendongkak ke wajah Ayah.
“Ayah," ucapku khawatir.
“Tak apa," sahut ayah sambil mengusap rambutku.
Sampai di rumah, ayah bercerita tentang saputangan yang diikat di leher. Tanda pemuda nakal yang mengganggu masyarakat. Jika mereka bersikap seenaknya, bisa-bisa diciduk. Dan tidak akan pernah kembali. Terlebih, jika ia bertato. Tak kusangka bahwa itu akan terjadi. Esoknya mayat pria itu ditemukan mengambang di kali.
Penemuan mayat itu membuar geger seluruh kampung. Kabar itu sampai di telinga ibu. Ibu penasaran, ingin melihat tempat kejadian bersama tetangga. Namun ayah melarang.
“Jangan ke sana! Ayah dengar Pak Karto memerintahkan agar tetap berada di rumah”.
***
Pikiranku beranjak terlalu jauh, sampai aku tidak sadar kalau ibu sudah tidak ada di sampingku. Aku beranjak dari tempat tidur mencoba mencarinya. Ternyata ibu ada di ruang depan, ia berdiri menatap keluar lewat jendela.
"Ibu." Ibu menoleh. Ruang tamu yang padam terang oleh kilatan cahaya. Aku mendekat. Ibu menyambutku dan merapatkanku dalam rangkulannya. Kami berdua memandang ke luar. Kegelapan yang meliputi pandangan kami, sesekali kilat memberi secercah cahaya.
"Kenapa tidak tidur?" tanya ibu tanpa melepas pandangannya.
"Menunggu ayah." jawabku datar. Ibu menatapku, aku balas menatapnya. Ia menghela nafas. Kulihat perasaan khawatir berkecamuk di wajahnya. Lama kami terdiam. Lalu ibu menyuruhku kembali ke tempat tidur.
"Saat subuh, pergilah ke mushola dan temui Kiai Harun. Sampaikan kepada beliau ibu ke kota mencari telepon."
Terngiang kalimat terakhir ibu sebelum ia keluar. Angin dingin berhembus saat ibu membuka pintu. Membawa payung, ibu mantap melangkah. Sebelum jauh ia sempat menyuruhku cepat mengunci pintunya. Kuabaikan perintahnya, aku terus menatap punggungnya sampai hilang oleh kegelapan.
Jam dinding berdentang tiga kali. Suara petir tidak lagi terdengar, hujan mulai reda. Namun, gemuruh di dadaku tidak berhenti. Jantungku berdetak kencang. Keringat dingin mulai keluar. Aku menggigil ketakutan. Malam terasa sangat panjang.
Cirebon, Februari 2019
AUTHOR
Marleni Adiya
Be the first person to like this.
Semakin lama, kabar kasus kekerasan semakin banyak saja mampir di hadapan kita. Kekerasan terjadi di berbagai konteks dan bentuk, oleh siapa pun. Saking banyaknya, publik pun mulai mengalami desensitisasi dan tidak lagi heran dan marah ketika ada kasus kekerasan terjadi.
Namun, kita tetap terkejut ketika mulai muncul berita kasus-kasus kekerasan di lingkungan santri dan pesantren, baik kekerasan fisik yang ekstrem maupun kekerasan seksual. Publik dihebohkan dengan kasus Bechi, putra kiai yang melakukan kekerasan seksual dan seakan memiliki kekebalan hukum saking sulitnya ditangkap polisi.
Sebelumnya, ada kasus Herry Wirawan yang mengaku kiai dan memerkosa santri-santrinya yang tak berdaya. Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kasus seorang santri pondok pesantren di Tangerang meregang nyawa akibat dikeroyok santri seniornya.
Dan beberapa hari ini kita terperangah menjumpai situasi yang sama terjadi di Pondok Pesantren Modern Gontor, institusi yang cukup disegani di dunia pesantren karena kepiawaiannya memadukan pendidikan modern dengan model pendidikan Islam khas Indonesia. Tidak terbayangkan hal sedemikian terjadi di sana. Apalagi kasus ini dikelola secara tidak tepat, dengan informasi misleading yang disampaikan kepada keluarga korban dan berujung pada tereksposenya kasus ini bagai infotainment.
Publik terkejut karena kekerasan adalah budaya yang jauh dari dunia pesantren. Pesantren selalu digambarkan sebagai tempat menyemai akhlak mulia dan mengembangkan karakter, dengan bersumber dari ajaran keagamaan. Corak keislaman Indonesia warisan Wali Songo yang damai, toleran, dan jauh dari kekerasan sangat kuat mewarnai kehidupan pesantren.
Kiai yang berperan sebagai pengasuh pesantren menjadi sosok panutan, baik bagi santri maupun keluarga santri. Kealiman (ketinggian ilmu agama) dan kearifan sang kiai menjadi keyakinan bahwa nilai-nilai Ilahiah akan memandu kehidupan pesantren. Kehadirannya yang utuh penuh menjadi semacam jaminan bahwa segala hal di dalam lingkungan pondok pesantren tersebut akan berlangsung baik.
Kepercayaan penuh kepada kiai menjadi dasar tumbuhnya prinsip tawadhu’ (hormat sepenuhnya) kepada kiai. Santri dan keluarganya sepenuhnya tunduk kepada kiai, dengan harapan mendapat luberan berkah Tuhan yang jatuh kepada sang kiai. Istilah khasnya ”nggandol sarung kiai” atau berpegang pada sarung kiai.
Nilai ini tentu sesuatu yang mungkin tak terbayangkan bagi mereka yang tidak berasal dari tradisi ini, tetapi justru di sinilah transmisi nilai-nilai luhur menjadi sangat mudah dilakukan selayaknya dilakukan kakek dalam keluarga besar atau tetua suku. Di berbagai agama, peran yang sama dijalankan para romo, pendeta, biku, pedande, dan tokoh agama lainnya.
Ketika sebuah pondok pesantren mengalami pertumbuhan pesat sehingga memiliki ribuan santri, maka wewenang mengelola pondok pesantren mulai didelegasikan kepada pengasuh pesantren, dan diturunkan sebagian kepada para santri senior. Kiai masih menjadi figur utama, tetapi bermunculanlah figur-figur lain yang harus dihormati dan ditaati santri selaras dengan prinsip tawadhu’ tersebut: keluarga kiai, pengasuh pesantren, ustaz ustazah, dan santri senior.
Di sinilah slippery slope (turunan licin) yang berbahaya bagi dunia pesantren. Sikap tawadhu’ tak berbatas dari santri dan keluarganya digantungkan pada kealiman dan kearifan kiai, tetapi akhirnya disematkan kepada elemen-elemen yang sudah pasti tidak memilikinya sebagaimana sang kiai. Kekuasaan yang diterima tidak didukung kearifan sang pemegang kuasa dan menjelma menjadi relasi kuasa yang opresif.
Dalam dunia psikologi, dikenal riset kontroversial bernama Stanford Prison Experiment (1973). Sang peneliti, Zombardo, ingin melihat bagaimana pengaruh setting sosial pada perilaku manusia. Sukarelawan penelitian dibagi menjadi dua kelompok peran: sipir penjara dan narapidana. Ternyata para sukarelawan menunjukkan perilaku yang sesuai perannya. Pemeran sipir menunjukkan perilaku beringas dan para pemeran narapidana melaporkan rasa tertekan yang amat sangat. Riset ini menunjukkan bahwa peran dan jabatan dengan segala perangkatnya (seragam dan peralatan) akan memengaruhi bagaimana orang berperilaku.
Para santri senior yang melakukan penganiayaan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, barangkali mengalami sindrom yang sama: mengambil otoritas kiai, hanya bermodal jabatan sebagai senior. Apalagi para santri dan pengasuh pesantren sama-sama meyakini bahwa hukuman dan disiplin diperlukan untuk memperkuat ketangguhan mental setiap santri. Alhasil, tradisi semacam ini pun bisa terjebak menghasilkan santri beringas, terutama para senior terhadap adik-adik santrinya.
Kasus seperti Gontor ini jarang sekali terjadi dari sekitar 30.000 pesantren yang terdaftar di Kemenag RI. Meski demikian, mengingat tren kekerasan secara umum terus meningkat, kita perlu memastikan tren ini tak menguat juga di pesantren. Sudah saatnya dunia pesantren menata ulang sistem dan norma pengelolaan pesantren yang ada. Para kiai perlu memastikan betul bahwa titik-titik rentan dikelola dengan saksama sehingga tidak menimbulkan bahaya.
Bagaimanapun harapan masyarakat kepada pesantren masih sangat tinggi. Dengan kerendahan hati untuk mengakui setiap titik lemah dan ruang tumbuh pesantren, kasus-kasus yang ada justru dapat menjadi batu lompatan bagi pesantren untuk berproses menjadi institusi pendidikan berbasis keagamaan unggulan Indonesia.
_______________
Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik "Udar Rasa" Kompas, 11 September 2022
AUTHOR
Alissa Wahid
Be the first person to like this.
Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mendapat penghargaan internasional The Niwano Peace Prize Visionary Award. Niwano Peace Prize Visionary Award (NPPVA) ini pertama kali diberikan oleh Niwano Peace Foundation setelah sejak tahun 1983 memberikan anugerah Niwano Peace Prize. NPF adalah organisasi Jepang yang berfokus pada perdamaian dunia, saat ini diketuai oleh Hiroshi Niwano dengan Nichiko Niwano sebagai Presiden Kehormatan.
NPPVA bertujuan untuk memberikan penghargaan dan penghormatan kepada individu dan organisasi yang telah menunjukkan kiprah prestasi luar biasa dalam memperjuangkan masyarakat yang damai dan harmonis, namun dinilai memiliki potensi pengembangan khidmat lebih besar di masa depan. NPP beriktikad memupuk potensi upaya perdamaian yang otentik dan berakar dalam masyarakat, serta mengatasi masalah-masalah spesifik yang erat dalam kehidupan masyarakat.
Ada tiga tokoh yang mendapat NPPVA yang pertama kali ini, yaitu Alissa Wahid (Indonesia), Ruki Fernando (Sri Lanka), dan Jennifer Liang (India).
Alissa Wahid merupakan putri sulung Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia. Dia mendirikan Jaringan GUSDURian untuk melanjutkan perjuangan ayahnya dalam menyebarkan Islam moderat dan Islam yang toleran di Indonesia. Alissa dianggap berhasil mewujudkan kemanusiaan Islam dalam aktivisme sosialnya dan mengembangkannya menjadi gerakan nasional dengan membela hak-hak minoritas yang menjadi sasaran persekusi dan penindasan oleh kelompok ekstremis.
Niwano juga menyoroti aktivitas Alissa dalam mendampingi petani yang tanah dan lingkungan hidupnya dirampas dan dirusak oleh korporasi. Sejak beberapa tahun terakhir, Alissa Wahid menjadi salah satu tokoh yang begitu vokal menyuarakan penolakan terhadap perusakan lingkungan. Ia mendampingi warga Kendeng, mengadvokasi kriminalisasi aktivis lingkungan di Kendal, membela Salim Kancil, serta membersamai warga Kulonprogo dan Wadas yang mengalami konflik agraria dan perampasan ruang hidup.
“Penghargaan ini merupakan hasil dari kerja keras semua pihak yang terlibat dalam kerja-kerja GUSDURian,” ujar Alissa. Ia menyebut bahwa tanpa dukungan dari para GUSDURian dan jejaringnya, kerja-kerja kemanusiaan ini tidak akan bisa berdampak luas. Ia secara khusus berterima kasih kepada para penggerak Jaringan GUSDURian yang saat ini jumlahnya sangat besar. Ada 155 komunitas di seluruh belahan dunia.
“Ini adalah hadiah Jaringan GUSDURian setelah menyelenggarakan Temu Nasional di Surabaya beberapa waktu lalu,” pungkas Alissa Wahid.
Be the first person to like this.
Cak Nun Full Humor lucu - Cerita Gusdur Ketemu Pak Harto Dan Bung Karno - ( Emha Ainun Nadjib )
12 views
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun[4] (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 68 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.
#caknun #emhaainunnajib #ytpangajian
Be the first person to like this.
Bahagia! Gus Dur Kedatangan Fans Fanatik Selama 10 Tahun Belum Pernah Ketemu | SJLD tvOne
29 views
Jakarta, https://www.tvOnenews.com - Bahagia! Gus Dur Kedatangan Fans Fanatik Selama 10 Tahun Belum Pernah Ketemu | SJLD tvOne
Satu Jam Lebih Dekat adalah program berdurasi 1 jam yang ditayangkan di tvOne dengan format talk show. Menghadirkan orang-orang penting yang tidak jauh dari Pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki peranan penting bagi Bangsa. Mengungkap dari sisi seputar kehidupan, hobi dan keluarga. Lebih dalam dari sisi Human Interest, sehingga talk show yang dibangun lebih santai dan riang. Menghadirkan keluarganya, fans sampai mistery guest yang kehadirannya tidak disangka-sangka oleh setiap bintang tamu yang hadir.
Saksikan live streaming tvOne hanya di https://www.tvonenews.com/live
Be the first person to like this.
CERITA MISTIK TENTANG GUS DUR DIUNGKAP ASISTEN PRIBADINYA (MAS ZASTROUW ALNGATAWI) #gusdur
11 views
Zastrow Al-ngatawi adalah asisten pribadi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jauh sebelum masa Gus Dur Jadi Presiden.
Pria asal Pati ini punya banyak cerita tentang beliau baik cerita tentang kemistikan Gus Dur maupun tentang kehebatan pemikiran Gus Dur yang multi dimensi.
dalam video ini, Kami menyajikan cerita mas Sastro tentang pertemuannya dengan Gus Dur dalam dimensi mistik. dimana Mas Sastro bertemu Ruh Gus Dur ketika berziarah ke Makam Gus Dur di 100 hari setelah wafat.
selamat menikmati videonya, semoga bermanfaat.
#gusdur
#khabdurrahman_wahid
#gresik
#ceritagusdur
#zastrowalngatawi
#haulgusdur
#gusdurian
#gusdurwali
Be the first person to like this.
Kisah Kebaikan Gus Dur Ketika Jabat Presiden #oleh_ mas Priyo Sambadha #gusdur #haulgusdur
10 views
Kisah Kebaikan Gusdur diceritakan oleh Mas Priyo Sambadha, salah seorang staf Presiden.
Gus Dur selama menjadi presiden, dikenal sangat perhatian dan pemaaf kepada seluruh jajaran bawahannya.
tak terkecuali sama Mas Priyo. Cerita itu disampaikan saat haul Gus Dur ke 5 di Ciganjur saat testimoni.
#gusdur
#gusdurian
#nuonline
#tvnu
#haulgusdur
Be the first person to like this.