Oleh : Dahlan Iskan
MENARIK cara kerja ketua bergilir raja-raja Malaysia saat ini. Terutama di saat partai-partai gagal membentuk pemerintah akibat tidak ada yang memenangkan Pemilu ke 15 Sabtu lalu.
Pas dapat giliran untuk masa jabatan lima tahun ini Yang Dipertuan Agong Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah, pas terjadi gonjang-ganjing politik.
Tugas raja menjadi banyak. Sibuk sekali. Pertama menetapkan batas waktu pembentukan pemerintah baru hasil pemilu ke 15. Harus sudah terbentuk Senin pukul 14.00 lalu. Mepet sekali. Hanya dua hari setelah pelaksanaan pemilu. Sampai deadline yang dimaksud tidak satu pun partai yang berhasil membangun koalisi minimal 112 kursi.
Raja memberi perpanjangan waktu 24 jam: Selasa, pukul 14.00.
Masih juga gagal.
Tidak ada lagi perpanjangan waktu.
Raja akan menunjuk langsung siapa perdana menteri baru Malaysia. Tidak asal tunjuk. Raja memeriksa dulu hasil pemilu.
Juaranya pertama: koalisi Pakatan Harapan yang diketuai Anwar Ibrahim (82 kursi). Juara duanya koalisi Perikatan Nasional pimpinan Muhyudin Yasin (71 kursi).
Dua-duanya dipanggil raja ke istana. Selasa sore lalu.
Raja meminta dua tokoh itu rukun. Berkoalisi. Bentuklah pemerintahan bersama. Toh dua-duanya kader utama Dr Mahathir Mohamad ketika masih sama-sama di UMNO.
Juga sama-sama pejuang dalam meruntuhkan UMNO pimpinan perdana menteri Najib Razak.
Gagal.
Di depan raja keduanya menyatakan tidak bisa bekerja sama lagi. Anwar terlalu akomodatif ke golongan Tionghoa. Muhyidin dianggap terlalu dekat dengan partai Islam PAS.
Untuk memecahkan kebuntuan, Anwar sempat terpaksa mendekati UMNO yang punya kursi 26. Kalau UMNO mau, terbentuklah pemerintahan gabungan antara yang menjatuhkan dan dijatuhkan.
UMNO tidak mau. Mereka bukan Lesti Kejora yang terlalu mudah rujuk kembali.
Muhyidin juga sudah mencoba mendekati Gerakan Partai Serawak yang kali ini nyaris sikat habis kursi dari Serawak: dapat 23 kursi. Ternyata juga gagal.
UMNO dan atau GPS sebenarnya bisa sama-sama jadi penentu. Kalau UMNO mau ke Anwar urusan selesai. Kalau GPS mau ke Muhyidin urusan juga selesai.
UMNO ogah. UMNO melihat Anwar terlalu dekat ke Tionghoa. GPS ogah. GPS melihat Muhyidin terlalu dekat ke partai Islam. Padahal semua kursi GPS diduduki oleh orang Kristen.
Raja lantas memanggil semua anggota DPR dari UMNO. Mereka ditanya sendiri oleh raja satu per satu: mau atau tidak mendukung salah satu dari dua tokoh itu. Mereka kompak: tidak ada yang mau.
Raja juga memanggil 23 anggota DPR dari GPS. Mereka pun terbang dari Kuching ke Kuala Lumpur. Mereka ditanya satu per satu: maukah mendukung salah satu dari dua tokoh tersebut.
Mereka kompak: tidak mau.
Sampai jam 12.00 siang kemarin raja masih berupaya menelusuri aspirasi dari semua pihak.
Wartawan berkumpul di depan istana. Sejak Senin lalu. Siang-malam. Berkemah di situ. Tiga hari. KFC mengirim ayam goreng ke kemah itu. Mereka melihat wartawan nggak sempat cari makan. Restoran lain juga berbuat hal yang sama. Nasi Lemak Royale kirim puluhan bungkus ke depan istana raja. Demikian juga McDonald’s. Sekitar 60 wartawan tidak mau beranjak dari situ.
Pukul 12.05 kemarin pintu 1 Istana membuka. Wartawan fokus ke pintu itu: siapa lagi yang dipanggil. Ternyata justru raja sendiri yang lewat pintu itu. Raja terlihat meninggalkan Istana. Mengemudikan mobil sendiri. Entah ke mana. Tapi wartawan tetap berjaga di sana.
Setelah dipanggil ke Istana itu para tokoh UMNO kumpul lagi. Kemarin sore. Di sebuah hotel besar di Kuala Lumpur. Hasil rapatnya belum diketahui.
Pagi ini raja masih belum membuat keputusan. Raja masih mengundang 9 raja lainnya untuk minta pendapat para sultan itu. Belum ada yang tahu apa kira-kira putusan Raja. Lantas siapa yang akan ditunjuk. Raja sangat menghormati hasil pemilu. Raja tahu bahwa politik sudah membelenggu Malaysia selama tiga tahun terakhir.
Mahathir tidak dilibatkan sama sekali. Partainya, Partai Pejuang Tanah Air, memang gagal total. Dapat 0 kursi. Mahathir sendiri hanya dapat suara urutan keempat dari lima calon di Dapil basisnya: Langkawi, utara Pulau Penang.
Mahathir sudah bikin pernyataan bisa menerima hasil pemilu. Yang bisa ia lakukan sekarang, katanya, hanya mengamati proses pembentukan pemerintahan hasil Pemilu ke-15. Selebihnya ia hanya akan menulis buku. Yakni buku sejarah.
“Banyak kejadian yang belum ditulis, termasuk di zaman penjajahan Inggris,” kata Mahathir kepada media di sana. “Saya juga akan melayani wawancara para penulis,” tambah tokoh berukir 97 tahun itu.
Kalau ikut peraturan lama tidak akan terjadi kebuntuan seperti ini. Waktu itu anggota DPR bisa pindah partai sesukanya. Kapan saja. Membentuk koalisi lebih gampang. Tidak tergantung sikap partai. Perorangan anggota bisa digerilya satu per satu.
Tapi aturan lama itu juga membuat subur pengkhianatan. Para tokoh itu saling khianat. Saling tikam dari belakang. Itulah yang terjadi di Malaysia selama tiga tahun terakhir. Hampir tiap bulan ada berita pengkhianatan.
Maka, tahun lalu, dilahirkan UU baru: anggota DPR tidak boleh loncat pagar sesukanya. Waktu merumuskan UU itu sama sekali tidak terbayangkan terjadinya kebuntuan seperti sekarang ini.
Untuk memecahkannya, harusnya segera adakan pemilu lagi. Tapi biayanya besar. Rakyat juga bisa lelah. Para pimpinan partai sudah menyerah: terserah saja pada titah paduka tuaku raja Yang Dipertuan Agong Malaysia. (Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh : Dahlan Iskan
Ini bencana alam: gempa Cianjur kemarin dulu. Ini bencana gempa vulkanik. Bukan bencana Kanjuruhan.
Bencana Cianjur ini –268 orang meninggal dunia– tergolong bencana khas negara berkembang. Yang penduduknya masih belum begitu punya kemampuan disiplin dan keuangan.
“Gempa tidak pernah menyebabkan kematian. Yang bikin banyak korban itu bangunan yang tidak tahan gempa,” ujar Prof Dr Ir Priyo Suprobo.
Ia ahli teknik sipil. Disertasi doktornya tentang beban dinamis: di Purdue University Amerika Serikat. Soal gempa ada di dalamnya. Prof Suprobo juga anggota Pusat Riset Gempa Nasional (Pusgen). Ia jadi rektor ITS Surabaya tahun 2007 – 2011.
Gempa Cianjur itu sebenarnya hanya 5,6 skala richter. Bahwa begitu banyak bangunan yang roboh pertanda itu tadi: disiplin yang rendah dalam memenuhi persyaratan bangunan di daerah gempa.
Mungkin di setiap debat pemilihan bupati di wilayah gempa, harus ada satu pertanyaan: tentang gempa. Seberapa si calon tahu soal itu dan bagaimana programnya kalau terpilih nanti.
Termasuk pertanyaan umum: baik mana rumah kayu/bambu dibanding rumah bata di saat gempa.
Kalau pun rakyat merasa lebih bergengsi punya rumah bata, apa syaratnya: agar tahan gempa.
Pertanyaan paling sepele pada calon para pimpinan daerah adalah: apakah ia/dia tahu bahwa daerahnya termasuk dalam peta gempa. Lalu bagaimana mitigasinya.
Pemerintah, termasuk Pusgen, sudah menerbitkan peta gempa yang sangat rinci. Sampai per wilayah. Bahkan kementerian PUPR sudah membuat pedoman pembangunan rumah tahan gempa. Sangat rinci. Peraturan pemerintah pun sudah ada. Sudah sangat rinci.
Kita memang sudah lupa. Sudah lama tidak ada gempa yang menimbulkan banyak korban jiwa. Gempa Cianjur seperti membangunkan ingatan masa duka nan lalu.
Di zaman medsos ini begitu banyak muncul video tutorial. Di YouTube. Banyak pula penggemarnya. Pun sampai tutorial bagaimana menata alis.
Prof Suprobo juga membuat tutorial. Khusus bagaimana membangun rumah tahan gempa. Termasuk bila rumah itu dibangun dengan batu bata. “Tidak ada jalan lain. Tiap 3 meter harus diberi slop. Yang terbuat dari beton. Lalu antar slop itu dihubungkan dengan slop pula. Kalau itu sudah dipenuhi masih harus dilihat disiplin penerapannya. “Yang biasa di ”curi” kontraktor, mandor atau tukang adalah tulangannya,” ujar Prof Suprobo. “Tidak bisa ditawar. Tulangan itu harus tiap 10 cm,” katanya. “Biasanya dijarangkan sampai 15 atau 20 cm,” tambahnya.
Ukuran baja tulangan yang menghubungkan satu tulang dengan tulang lainnya itu harusnya 10 mm. “Biasanya juga dicuri menjadi 6 mm,” ujarnya.
Meski alumni SMAN 1 Yogyakarta dan lahir di Klaten, Prof Probo pilih kuliah di teknik sipil ITS. “Agar cepat lulus,” katanya. “Waktu itu kuliah di UGM terkenal makan waktu lebih lama,” tambahnya.
Meski peraturan, petunjuk dan tutorial sudah sangat lengkap, kita memang punya problem yang sama dengan Filipina, India, Pakistan, Meksiko dan negara setara lainnya: izin bangunan dan kontrol akan izin bangunan itu. Rasanya kita masih perlu menunggu satu generasi lagi untuk mulai melangkah ke sana. Sementara ini tampaknya kita hanya bisa memilih apa boleh buat: setiap terjadi bencana yang sama harus siap-siap memperdalam duka.
Padahal bencana gempa tidak akan berkurang. Kita dengan berdebar menunggu terbitnya peta baru gempa di Indonesia. Peta gempa memang terus diperbarui. Tiap lima tahun sekali.
Dari pengalaman di masa lalu selalu terjadi pertambahan wilayah baru yang masuk peta gempa.
Daerah yang dulu aman bisa saja berubah menjadi tidak aman gempa. Seperti Surabaya. Rasanya sudah mulai masuk peta gempa di peta yang terbaru. Mungkin pemerintah belum berani terus terang. Khawatir menggelisahkan. Padahal sudah ditemukan garis gempa baru: menjelirit dari Bangkalan di ujung barat Madura sampai ke gunung Kendeng di Bojonegoro. Melintasi bagian utara Surabaya, Gresik dan Lamongan.
Bandung bisa jadi juga punya peta baru gempa, bertambah dari peta yang lama. Pun Jakarta, sudah mulai masuk di peta yang terbaru.
Siapa pun yang di SMA belajar fisika tentu tahu rumus ini: daya gempa adalah masa x percepatan. Percepatan di situ berarti cepatnya gelombang getaran.
Maka kian berat beban sebuah rumah kian besar daya yang diterima. Bata merah adalah bahan bangunan yang amat berat. Karena itu disiplin dalam mengatur jarak slop dan tulangan tidak bisa ditawar.
Tentu berkembangnya industri bata ringan belakangan ini bisa mengurangi risiko itu. Belum lama ini saya menghadiri peresmian pabrik bata ringan yang sangat besar di Sragen. Teman saya itu sudah punya pabrik serupa di kabupaten lain. Kini sudah tak terhitung banyaknya pabrik bata ringan di seluruh Jawa. Memang usaha bata akan pindah dari usaha rakyat ke kapitalistik, tapi itulah yang terjadi.
Waktu kecil saya bisa membuat bata merah. Mengaduk tanahnya. Mencetaknya. Menjemurnya: dengan menumpuknya bersilang-silang. Memanggulnya ke tempat pembakaran. Sekali panggul kuat lima bata mentah. Lalu membakarnya: satu harmal. Sekali bakar 1000 bata.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa bata merah tidak ideal untuk bangunan di wilayah gempa. Rasanya orang Cianjur juga tidak tahu. Apakah setelah gempa ini mereka membangun kembali rumah dengan taat aturan gempa itulah persoalan kita.
Semua ahli heran: gempanya 5,6 skala richter. Korbannya begitu banyak. Maka benar: gempa tidak membunuh manusia; bangunanlah yang membunuh mereka. (Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh: Dahlan Iskan
PEMILU terakhir, Pemilu ke-15, Sabtu lalu, bikin perbedaan di Malaysia kian nyata. Golongan besarnya kian terlihat: Islam (PAS), nasionalis pribumi lama (UMNO), nasionalis pribumi tengah kanan (PPB), nasionalis pribumi tengah (PKR), dan Tionghoa baru (DAP).
Peran sejarah Dr Mahathir Muhammad sudah habis. Bahkan Dr M sudah tidak bisa terpilih sebagai anggota DPR di dapil seumur hidupnya: Langkawi. Ia bukan siapa-siapa lagi, kecuali panutan penting bagi orang yang mulai tua: umur 97 tahun masih menjadi calon anggota legislatif.
Tokoh utama pribumi di sana kini tinggal dua: Anwar Ibrahim yang sudah operasi belikat dan Muhyiddin Yasin yang sudah operasi jantung.
Dua-duanya kader utama Dr M. Dua-duanya pernah jadi deputi perdana menteri. Dua-duanya, dalam perjalanan tuanya, memusuhi dan dimusuhi Dr M.
Dua-duanya kini saling bermusuhan.
Dulu, ketika nasionalis pribumi masih bersatu di UMNO, partai pribumi itu berhasil berkuasa. Sampai 60 tahun. Sangat berkuasa. Terutama di bawah Dr Mahathir Muhammad. Pakai tangan besi. Korupsinya pun merajalela, meski harus diakui kemajuan Malaysia juga luar biasa.
Parahnya tingkat korupsi itu mencapai tipping point di zaman Perdana Menteri Najib Razak. UMNO pun runtuh. Najib masuk penjara. Bersama istrinya.
Pribumi yang selama itu hanya pecah menjadi dua, nasionalis dan Islam, lantas pecah jadi tiga: Islam, Pribumi nasionalis lama (UMNO) dan pribadi aliran tengah (PKR).
Golongan Tionghoa idealis, yang selama ”Orde Baru” lemah, bangkit jadi kekuatan solid Tionghoa: partai DAP. Partai Tionghoa yang dulu ikut ”Orde Baru” habis sama sekali: MCA.
Lima kekuatan besar di Malaysia itu pun masuk ke gelanggang Pemilu demokratis pertama dalam sejarah kemerdekaan Malaysia: Pemilu ke-14, tahun 2018.
Pribumi nasionalis lama masih mendapat suara terbanyak: 54 kursi. Sampai ada yang bilang Golkar-nya Malaysia belum bisa diruntuhkan.
Pribumi nasionalis tengah melejit, mendapat 47 kursi.
Golongan Tionghoa baru menyikat habis kursi Tionghoa, 42 kursi.
Aliran Islam memperoleh 18 kursi.
Tidak satu pun partai yang memperoleh 51persen. Tidak ada partai yang bisa membentuk pemerintahan. Mereka harus berkoalisi.
Semangat anti-UMNO membuat Pribumi tengah berkoalisi dengan Tionghoa baru. Sama-sama berjuang meruntuhkan UMNO. Ditambah kursi dari partai Warisan di Sabah.
Koalisi ini berhasil membentuk pemerintahan Pakatan Harapan dengan Dr Mahathir Muhammad sebagai perdana menteri ‘sesepuh’.
Dr Anwar Ibrahim sebagai ”komandan” pribumi tengah, harus sabar. Setelah Mahathir memerintah selama 2 tahun barulah Anwar Ibrahim bisa naik. Anwar baru saja keluar dari penjara dan baru saja mendapatkan pengampunan dari raja.
Sang ”sesepuh” kurang sakti mempersatukan Anwar dan Muhyidin. Koalisi Pakatan Harapan pecah. Muhyidin Yasin keluar. Membentuk partai sendiri, berorientasi pada pribumi tapi tidak mau Islam juga tidak mau Tionghoa. Ia tengah-kanan. Bahkan Muhyidin lantas membentuk koalisi Perikatan Nasional bersama UMNO. Muhyidin jadi perdana menteri.
Belum satu tahun memerintah, UMNO merebut kekuasaan di koalisi itu. UMNO kembali memerintah dengan Perdana menteri Ismail Jacob.
Pemerintahan Ismail Yakob pun runtuh. Diadakanlah Pemilu yang dipercepat. Sabtu lalu kemarin.
Hasilnya: partai Islam melejit, mendapat 49 kursi. Kekecewaan pribumi pada UMNO yang korup, pada Anwar Ibrahim yang terlalu dekat ke Tionghoa, pada Mahathir yang haus kekuasaan dan pada Muhyidin Yasin yang pernah berkoalisi dengan UMNO membuat sebagian orang Islam menengok kembali ke partai Islam, PAS.
Pribumi yang tidak suka simbol Islam dibawa ke politik tapi juga tidak suka UMNO dan Anwar Ibrahim, tidak ada pilihan lain: ke Muhyudin Yasin.
UMNO sendiri merosot habis. Dari 54 kursi tinggal 26 kursi.
Partainya Anwar Ibrahim, PKR, mendapat 31 kursi dari sebelumnya 47 kursi. Jelas pemisahan Muhyidin Yasin dari Anwar Ibrahim mengurangi kursi PKR.
Partai Tionghoa tetap solid dapat 42 kursi, meski turun satu kursi.
Maka dari hasil Pemilu Sabtu lalu Malaysia terbelah menjadi 5 golongan besar: Pribumi Islam (49 kursi), Pribumi Tengah (31 kursi), Pribumi Tengah Kanan (24), Pribumi lama (26 kursi), Tionghoa baru (40 kursi).
Tokoh politik pribuminya tinggal dua: Anwar Ibrahim dan Muhyiddin Yasin. Dua orang ini tidak bisa bersatu. Tengah dan tengah kanan ternyata seperti kiri luar dan kanan luar. Mahathir sudah tidak bisa lagi jadi ”sesepuh” di antara dua tokoh muda yang kini juga sudah sepuh itu.
Perolehan suara Anwar Ibrahim sebenarnya lebih besar dari Muhyidin Yasin. Tapi Muhyidin yang justru lebih dulu mengatakan: saya yang akan jadi perdana menteri baru. Ia akan berkoalisi dengan partai Serawak yang kali ini menang mutlak di Kalimantan Utara itu. “Pokoknya saya tidak mau berkoalisi dengan Anwar Ibrahim,” tegasnya. Tapi ia juga tidak mau lagi berkoalisi dengan UMNO.
Anwar dalam posisi sulit. Koalisi Pakatan Harapan mendapat kursi lebih banyak tapi idealisme keterbukaannya membuat tidak mudah membangun koalisi. Padahal PKR bersama DAP hanya mengumpulkan 82 kursi. Masih kurang banyak untuk bisa mencapai 112 kursi –51 persen kursi di parlemen.
Kini terserah Anwar: apakah ia, sebagai pemenang Pemilu, ingin benar jadi perdana menteri. Kalau masih ingin satu-satunya jalan tinggal ini: berkompromi dengan musuh utamanya, UMNO.
Mungkin Anwar terpaksa mau. Tapi apakah teman koalisinya, partai Tionghoa DAP, mau. Tingkat kebencian Anwar pada UMNO mungkin memang sampai level 80 (1-100). Tapi tingkat kebencian DAP pada UMNO bisa 99.
Teman-teman Tionghoa saya di Malaysia juga terpecah dua: tidak mau berkoalisi dengan UMNO. Pilih jadi oposisi. Menang Pemilu tapi oposisi. Satu pihak lagi bersikap kompromistis: apa boleh buat, harus merangkul UMNO. Siapa tahu bisa memperbaiki sifat koruptif UMNO sambil jalan.
Muhyidin Yasin semula sangat optimistis: Senin pagi kemarin, hanya sehari setelah Pemilu, sudah berhasil menghadap raja untuk minta dilantik sebagai perdana menteri baru.
Raja sendiri memberi batas waktu pada partai-partai sampai Senin kemarin, pukul 14.00: sebelum jam itu pemerintahan baru sudah harus terbentuk.
Sampai deadline tersebut tinggal 2 jam, ternyata belum ada satu pun partai yang berani menghadap raja. Muhyiddin rupanya belum juga berhasil membentuk koalisi. Apalagi Anwar Ibrahim.
Maka raja, Yang Dipertuan Agung Malaysia, mengundurkan batas waktu itu: Selasa hari ini, pukul 14.00. Anwar atau Muhyidin.
Politik masih begitu kakunya di Malaysia. Maklum pengalaman saling dikhianati belum terlalu lama. Lama-lama, kelak, dikhianati itu ternyata biasa. Kita sudah mulai biasa dengan itu setelah 20 tahun menjalaninya.
Malaysia baru 4 tahun. Masih perlu 16 tahun lagi belajar khianat-mengkhianati.
Ini pelajaran bagi kita yang juga akan Pemilu dua tahun lagi: janganlah membenci berlebihan pada satu pihak yang tidak disukai. Pun ketika alasannya ras, aliran, suku, atau pun kitab suci. (Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh : Dahlan Iskan
SISTEM Pemilu di Muhammadiyah semakin teruji –baiknya. Kemarin sore Muktamar Muhammadiyah ke 48 itu pun bisa berakhir seperti biasanya: sangat damai.
Tidak ada kubu-kubuan.
Tidak ada tim sukses.
Tidak ada kampanye terselubung.
Dan yang jelas: tidak ada serangan fajar. Politik uang sama sekali tak tercium.
Yang terpilih menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun Anda sudah tahu: Prof Dr Haedar Nashir. Sosok lama yang terpilih kembali. Untuk periode kedua.
Saya merenungkannya: mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara Indonesia. Kita tahu pemilu dan pilpres kita itu terlalu berdarah-darah.
Terlalu mahal.
Terlalu memecah belah masyarakat.
Kita memang bangga pada sistem demokrasi Amerika tapi kita tidak siap menirunya apa adanya.
Saya dikirimi foto dari Solo, tempat Muktamar Muhammadiyah itu berlangsung.
Sidang plenonya dilakukan di auditorium Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sahabat Disway itu menyebut inilah auditorium terbesar, termegah, dan terbaik di seluruh Jawa Tengah.
Di situlah peserta muktamar terpusat.
Di luarnya puluhan ribu warga Muhammadiyah menyaksikannnya: lewat pikiran masing-masing. Mereka datang dari berbagai wilayah dengan status khusus: penggembira.
Mereka bukan utusan.
Mereka bukan peserta.
Mereka bukan pendukung salah satu calon ketua.
Mereka tidak punya hak suara.
Mereka tidak punya hak bicara.
Mereka hanya punya hak untuk bergembira.
Dan mereka gembira dengan budaya bersih dan damai di Muktamar Muhammadiyah. Termasuk tahun ini bersih secara fisik: tidak ada sampah di tengah puluhan ribu masa. Mereka sudah tahu itu. Sebelum berangkat ke Solo mereka sudah harus membawa misi inilah green Muktamar.
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memang salah satu dari 4 universitas terbesar milik Muhammadiyah. Tiga lainnya: UMM (Malang), UMY (Yogyakarta), dan UMSU (Medan). Di luar itu Muhammadiyah masih punya lebih 180 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Bahkan sekarang ini Muhammadiyah sudah punya 6 SMA di wilayah yang mayoritas masyarakatnya Kristen atau Katolik.
Di Flores.
Di Timor.
Di Papua.
Di pedalaman Kalbar.
Kebanyakan siswa sekolah Muhammadiyah di situ beragama Kristen/Katolik. Mereka mendapatkan pelajaran agama Kristen/Katolik. Tidak mendapatkan pelajaran agama Islam. Mereka mendapat pelajaran tambahan ke-Muhammadiyah-an.
Sekjen Muhammadiyah selama ini Prof Dr Abdul Mu’ti memang dikenal sebagai pendiri Krismuha –Kristen Muhammadiyah. Ia memang orang Kudus. Kelahiran Kudus, Jateng. Doktornya dari Adelaide, Australia. Ia mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menghubungi beliau kemarin siang. “Masih rapat,” katanya. Saya menghubungi Prof Dr Anwar Abbas. “Lebih tepat wawancara Prof Mu’ti,” katanya.
Maka saya wawancara dengan penggembira. Banyak di antara mereka yang saya kenal.
Para penggembira itu tidak perlu kemrungsung menanti siapa yang terpilih jadi ketua umum yang baru. Proses pemilihan pimpinan pusat di Muhammadiyah sangat rasional.
Setahun yang lalu pun sudah dibentuk panitia pemilihan. Di tingkat pusat. Diketuai Dahlan Rais. Panlih itu mengirim surat ke pengurus wilayah (tingkat provinsi) seluruh Indonesia. Masing-masing wilayah diminta mengusulkan 13 nama calon pimpinan pusat.
Yang dicalonkan boleh dari mana saja asal memenuhi syarat seperti yang diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Panlih lantas mentabulasi nama-nama yang diusulkan itu. Tahun ini terkumpul 200 lebih nama. Pekerjaan Panlih berikutnya: meneliti 200 nama itu. Apakah ada yang tidak memenuhi syarat administrasi seperti disebut dalam AD/ART.
Ternyata banyak juga wilayah yang mengusulkan tanpa melihat persyaratan di AD/ART. Setelah diteliti, Panlih mendapatkan 90 nama calon.
Mereka itu dikirimi surat. Harus menyatakan bersedia atau tidak. Harus mengisi daftar riwayat hidup. Termasuk hidupnya di Muhammadiyah. Pernah jadi pengurus apa saja.
Jumlah 90-an inilah yang kemudian dibawa ke sidang Tanwir pengurus pusat Muhammadiyah. Sidang Tanwir adalah sidang yang tingkatnya di bawah Muktamar. Sidang Tanwir ini berlangsung Jumat lalu, dua hari sebelum Muktamar.
Majelis Tanwir inilah mengerucutkan 90 nama itu menjadi 39 calon. Caranya sangat demokratis. Masing-masing anggota majelis memilih nama. Terpilihlah 39 nama dengan suara terbanyak.
Dengan demikian, sejak sidang majelis Tanwir itu, aktivis Muhammadiyah sudah tahu siapa saja 39 nama calon pimpinan pusat Muhammadiyah mendatang.
Nama 39 orang itulah yang kemarin dibawa ke Muktamar Solo. Peserta Muktamar tidak memilih ketua umum, tapi memilih 13 nama yang akan menjadi pengurus pusat Muhammadiyah. Terserah pada 13 orang itu: siapa yang salah satunya akan menjadi ketua umum. Yang 12 orang mendampingi sebagai pengurus pusat lainnya.
Kenapa 13 nama? Bukan 17 atau 9 atau 5 atau 45?
Saya pernah membaca keterangan Prof Dr Din Syamsuddin, orang Sumbawa yang pernah jadi ketua umum pengurus pusat Muhammadiyah. Katanya: tidak ada alasan khusus. Menetapkan jumlah itu bisa menimbulkan perdebatan panjang. Apalagi kalau harus dikait-kaitkan dengan kekeramatan sebuah angka. Justru misi Muhammadiyah harus melakukan dekramatisasi angka. Maka dipilihlah angka 13. Sekalian jadi lambang dekramatisasi angka 13 yang dianggap sebagai angka sial.
Dan ternyata Muhammadiyah tidak pernah sial. Sudah sekian kali muktamar dengan angka itu tetap saja lancar jaya.
Kenyataannya 13 orang itu sebenarnya kurang. Pengurus pusat Muhammadiyah perlu lebih dari 20 orang. Ya ditambah saja. Yang 13 orang itu diberi wewenang untuk menambahnya.
Di Pemilu kemarin malam itu lancarnya bertambah-tambah: pakai komputer. Ini untuk kali pertama pemilihannya pakai e-voting. Memang belum sepenuhnya elektronik. Belum pakai HP masing-masing. Peserta Muktamar masih harus maju ke suatu bilik suara. Di dalam bilik itu ada komputer. Peserta tinggal klik untuk pilih siapa. Beberapa bilik disediakan di bagian depan ruang muktamar. Cepat sekali. Langsung tertabulasi. Terpilihlah 13 nama.
Acara berikutnya: 13 nama itu bersidang. Singkat sekali. Penyebabnya: salah satu dari 13 nama tersebut adalah ketua umum incumbent: Prof Dr Haedar Nashir. Maka aklamasi terjadi. Beliau terpilih kembali. Selesai.
Dengan sistem pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan.
Pernah terjadi seorang tokoh Muhammadiyah dicoret dari daftar calon. Padahal ia seorang menteri. Ia harus menerima itu. “Padahal saya ini kurang Muhammadiyah apa?” keluh tokoh tersebut. Ternyata ia belum pernah menjadi ketua wilayah Muhammadiyah. Atau ketua majelis otonom di kepengurusan pusat. Ia adalah: Menteri Agama Tarmizi Taher.
Tentu iklim di Muhammadiyah sendiri yang juga memungkinkan sistem tersebut bisa dilaksanakan. Tertib administrasi dan tertib organisasi di Muhammadiyah terkenal disiplinnya. Pun dalam hal keuangan. Tidak ada keuntungan finansial apa pun untuk menjabat ketua umum Muhammadiyah. Juga tidak mendapat fasilitas. Termasuk tidak bisa ”menjual” Muhammadiyah dalam pemilu atau pilpres. Maka Muhammadiyah lebih sebagai kumpulan para pengabdi. Tidak terpilih pun apa susahnya. Mengabdi bisa di mana saja.
Akhirnya siapa yang jadi pimpinan Muhammadiyah sudah terseleksi secara ketat. Berjenjang. Transparan.
Hampir tidak mungkin terjadi kasus ”salah pilih”.(Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh : Dahlan Iskan
PUN setelah meninggal dunia nanti. Ia ingin tetap jadi guru. Ia sudah menemukan caranya: jadi cadaver.
Maka ia ingin menyumbangkan mayatnya kelak untuk fakultas kedokteran. Dengan cara itu mayatnya tetap bisa menjadi guru bagi para mahasiswa yang ingin jadi dokter.
Itulah guru sepanjang hayat: Hermawan Kartajaya.
Ia berulang tahun ke-75 kemarin malam. Ia menandai ultahnya itu dengan menandatangani wasiat agar kalau meninggal kelak mayatnya diserahkan ke fakultas kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Pelajaran anatomi, mata kuliah dasar bagi calon dokter, tidak bisa sempurna tanpa menyajikan mayat di ”ruang” kuliah.
Hermawan banyak bicara kematian di ulang tahunnya itu. Padahal, saya lihat, ia justru lebih segar dibanding, misalnya, lima tahun lalu.
Suaranya masih serak-serak keras.
Intonasinya masih naik-naik sesuai dengan semangatnya.
Langkahnya masih tegap untuk ukuran orang yang lama menderita diabetes.
Dua hari sebelum ulang tahun, dan sehari setelahnya, Hermawan sibuk di rangkaian acara itu. Ia ke Banyuwangi naik kereta wisata.
Ia ke ITS dan Unair untuk memberi kuliah umum.
Ia ke Kapasari gang V untuk melihat rumah masa kecil dan mudanya.
Hermawan Kartajaya (baju hitam dua dari kiri).–
Ia sembahyang ke gereja Katolik yang hanya setahun sekali ia kunjungi.
Ia ke Karanganyar melihat proses daerah di selatan Solo itu menjadi ‘Kabupaten Pancasila’.
Puncaknya, Hermawan mengundang makan malam sejumlah kerabat. Ya, kemarin malam itu. Ada pejabat tinggi yang hadir malam itu. Tinggi sekali: tingginya 2,25 meter. Beliau adalah Duta Besar Republik Ceko untuk Indonesia: Jaroslav Dolecek.
Hermawan adalah konsul kehormatan Republik Ceko sejak negara itu masih Ceko Slovakia. Wilayah kerja awalnya: Jatim, Jateng, dan Yogyakarta. Saya satu meja dengan pejabat tinggi itu. Kalau bicara dengannya saya harus mendongak.
Ketika tampil dengan mikrofonnya Hermawan keliling ke meja-meja undangan. Beberapa orang ia tanya: apakah mau mengikuti dirinya menjadi cadaver. Tidak satu pun ada yang mau. Padahal dengan cara itu kehidupan seseorang akan lebih abadi.
Ada yang beralasan bagaimana nanti dengan keluarganya. Ke mana akan ziarah kubur.
Sebenarnya itu hal mudah. Paman saya meninggal di Makkah. Mayatnya dimakamkan di sana. Tapi di kuburan keluarga di Takeran, Magetan, dibuatkan kijing, di sebelah kijing (nisan) ayah saya. Ke situlah anak-anak paman saya ziarah. Maka meski pun jenazahnya nanti ada di fakultas kedokteran toh bisa dibuatkan kijing seolah ada di kuburan.
Bagi orang yang usianya sudah lebih 75 tahun, wasiat menjadi cadaver memang lebih tepat daripada wasiat donor organ. Mungkin sudah sulit menjadikan organ orang yang sudah tua untuk donor transplant.
Donor organ lebih tepat dilakukan untuk yang lebih muda. Di Singapura itu sudah jadi undang-undang. Barang siapa meninggal tanpa ditemukan wasiat ‘tidak bersedia jadi donor organ’ berarti dia/ia bersedia. Maka tanpa perlu minta izin keluarga pemerintah bisa memanfaatkan organ apa saja pada mayat tersebut.
Itu merupakan kemajuan dari undang-undang sebelumnya. Yakni: bagi orang meninggal yang di dompetnya ditemukan wasiat boleh menggunakan organnya untuk donor, maka pemerintah langsung bisa mengambil organnya untuk donor. Sekarang, itu dibalik: yang tidak ditemukan larangan, berarti boleh.
Sudah banyak negara yang memberlakukan aturan seperti itu. Tapi di Indonesia baru Hermawan yang secara terbuka mewasiatkan cadavernya untuk materi kuliah.
Hermawan itu guru sejati.
Guru modern.
Guru yang menciptakan kurikulumnya sendiri.
Ia memang pernah menjadi profesional di perusahaan besar. Sampai jadi level direktur di perusahaan sebesar Sampoerna. Ia tidak tahan. Ia berhenti. Ia pamit untuk jadi guru lagi: guru marketing.
Putra Sampoerna, pemilik pabrik rokok Dji Sam Soe itu, sampai heran. Gaji di Sampoerna kan besar. Mengapa berani berspekulasi untuk mencoba jadi guru marketing. Belum jelas pula pasar ya.
Ketika Hermawan akhirnya mendirikan MarkPlus, ia diejek pakai bahasa Suroboyoan: mak ples. Artinya: tiba-tiba meredup untuk kemudian padam.
Hermawan awalnya memang guru matematika di SMP swasta Sasana Bhakti di Jalan Jagalan. Ayahnya pengurus sekolah di tempat lain. Ibunya guru. Lalu Hermawan mengajar di SMA St Louis Surabaya. Orang seperti menteri Ignatius Jonan, konglomerat Harry Tanoesoedibyo dan Kepala Pajak Jatim Prof John Hutagaol adalah murid-muridnya di St Louis.
Hermawan bukan sarjana. Ia pernah kuliah di ITS jurusan elektro. Sudah hampir selesai. Tapi ia berhenti. Ia bekerja. Ia memberi les matematika pada banyak sekali anak-anak.
Ia perlu uang. Ia tergolong keluarga miskin di Jalan Kapasari Gg V Surabaya. Kampung itu tidak jauh dari Stadion 10 November Tambaksari. Saya ikut Hermawan ke rumah di gang sempit itu Jumat lalu. Ia bernostalgia di rumah yang sudah dijual ke orang lain dan orang lain itu sudah menjual pula ke lainnya lagi.
Hermawan pandai menulis. Tulisannya hidup. Topiknya selalu soal marketing yang praktis. Ia jadi solusi bagi kesulitan banyak perusahaan atau manager marketing di perusahaan itu.
Dulu, saya memintanya untuk menulis di Jawa Pos. Secara rutin. Tiap hari Rabu.
Waktu itu saya perlu menaikkan gengsi Jawa Pos dengan menampilkan penulis terkenal dari kalangan pengusaha Tionghoa. Hermawan menyambut antusias tawaran saya itu. Ia merasa mendapat panggung besar. Maka antara Jawa Pos dan Hermawan seperti joki dan kuda. Bergantian siapa yang jadi Joki dan siapa yang menjadi kuda.
Orangnya disiplin.
Tulisannya tidak pernah absen di hari yang ditentukan. Pun ketika ia di luar kota. Atau dalam penerbangan jauh.
Pernah ia menulis di atas pesawat. Pakai tulisan tangan. Sampai di bandara tujuan tulisan itu dikirim pakai faksimile.
Ia gigih seperti wartawan profesional. Ia memegang teguh deadline. Padahal belum ada email saat itu. Belum ada modem. Apalagi HP.
Hermawan itu sama: tulisannya sebagus omongannya. Dan sebaliknya. Ada orang pandai menulis tapi tidak pandai bicara. Atau pandai bicara tapi tidak pandai menulis.
Hermawan jago di dua-duanya.
Maka tidak heran kalau Hermawan menerbitkan banyak buku. Sudah lebih 50 buku. Yakni buku marketing. Laris semua.
Ada yang beredar secara global. Yakni yang ia tulis bersama Philip Kotler, maha guru marketing dunia. Bukunya bersama Prof Kotler sampai 9 judul.
Prof Kotler, mahaguru dari North Western University Chicago mengakui kemampuan Hermawan. Salah satu buku terlaris Kotler-Hermawan adalah Reposition Asia: From Bubble to Sustainable. Yang tahun lalu laris di Amerika adalah Technology for Humanity.
Hermawan itu guru marketing. Konsultan marketing. Penulis buku marketing. Pembicara seminar marketing. Ketua organisasi marketing –tingkat Indonesia, Asia, lantas dunia. Apa saja dilihat Hermawan dari sudut marketing.
Saya ketularan gila marketing.
Suatu saat saya bertanya kepada anak saya yang lagi kuliah di Sacramento, California.
“Anda ambil jurusan apa?”
“Manajemen, ” jawab anak saya.
“Kenapa ambil manajemen?”
“Ayah kan orang manajemen,” jawabnya.
“Manajemen itu mudah. Ngapain ambil manajemen,” celetuk saya.
“Yang sulit apa?” tanyanya.
“Yang sulit itu marketing. Manajemen tidak bisa marketing tidak ada gunanya,” jawab saya.
Setahun kemudian saya ke Sacramento lagi. Belum saya tanya anak saya bilang: “Saya sudah pindah ke marketing”.
Hermawan sudah identik dengan marketing. Ia sudah jadi ikan besar marketing di Surabaya. Tapi Surabaya itu ibarat kolam kecil. Yang disebut kolam besar adalah Jakarta. Surabaya memang kota terbesar kedua setelah Jakarta, tapi kedua yang jauh. Kota terbesar kedua yang sebenarnya masih Jakarta. Nomor tiganya masih Jakarta. Pun nomor 8-nya. Surabaya itu nomor 10. Nomor 9-nya Bekasi atau Tangerang. Secara ekonomi.
Maka Hermawan itu ibarat ikan besar di kolam kecil.
Untuk bisa lebih besar ia harus mencari kolam besar. Ia pun pindah ke Jakarta.
Laris. Sukses.
Ia beredar luas di Jakarta dengan gaya bicaranya yang masih medok Suroboyo.
Ia arek Suroboyo asli. Arek kampung Suroboyo. Dengan bahasa Surabayanya yang sulit dihilangkan.
Ia memang Tionghoa tapi sudah turunan keenam lahir di Surabaya. Bahasa Indonesia khas Surabaya. Apalagi Mandarin. Ia tidak bisa.
Lama-lama ia kokoh di Jakarta. Ia melahirkan acara tahunan yang legendaris di Jakarta: Marketer of The Year. Ia pilih siapa tokoh yang pantas dinobatkan sebagai ”Marketer of the Year;’ tahun itu. Tiap sektor usaha dipilih satu tokoh. Lalu ada ”juara umum”-nya. Setiap pemenang menjadi juri untuk pemilihan tahun berikutnya.
Saya pernah terpilih mendapatkan predikat itu di tahun kedua saya menjadi dirut PLN. Program satu hari satu juta sambungan mendapat perhatian dari sisi marketing. Maka tahun-tahun berikutnya saya jadi juri. Minggu lalu saya hadir di penjurian untuk pemilihan tanggal 8 Desember depan.
Rapat itu dilakukan di kantor MarkPlus Jakarta. Miliknya sendiri. Ia sudah punya aset sangat berharga di Jakarta. Yakni di salah satu lantai di gedung perkantoran Casablanca City. Luas sekali. Sibuk sekali. Bonafide sekali. Ikan besar itu kini sudah lebih besar lagi di kolam yang besar.
Tentu Hermawan akan mewariskan MarkPlus kepada dua anaknya, putra dan putri. Tapi yang putri terlihat lebih asyik di dunia meditasi. Dia telah jadi guru meditasi yang punya banyak pengikut.
Apakah wasiat cadaver itu juga bagian dari marketing? Tentu.
Ia belakangan tidak henti-hentinya mengampanyekan cadaver. Maka, wahai calon mahasiswa kedokteran, jangan heran kalau suatu saat nanti Anda membedah mayat Hermawan, banyak Anda temukan huruf M di semua organnya. (Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh : Dahlan Iskan
AMPUN. Tiga KTT dalam satu rangkaian. Betapa lelahnya para pemimpin negara. Mereka baru kumpul di Phnom Penh, Kamboja untuk KTT ASEAN+. Lalu kumpul lagi di Bali untuk KTT G20+. Kemarin sudah kumpul lagi di Bangkok, Thailand, untuk KTT APEC.
Semua itu berlangsung hanya dalam satu minggu.
Dari KTT ASEAN kita tidak banyak mendengar berita besar, kecuali sejak penutupan KTT itu kepemimpinan ASEAN pindah ke Presiden Jokowi. Indonesia dapat giliran lagi menjadi Ketua ASEAN.
Berita lainnya: Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, baik-baik saja. Ia baru ketahuan positif Covid-19 setelah diperiksa setiba di Bali. Maka ia tidak jadi ikut KTT G20 –kebetulan memang bukan anggota. Bahkan Hun Sen juga tidak bisa hadir di KTT APEC di Bangkok.
ASEAN, asosiasi negara Asia Tenggara ini, aneka rianya sangat besar. Tidak mudah bersatu dalam satu garis perjuangan. Singapura seperti New York modern, sendirian, di tengah ladang pertanian Indonesia, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand. Filipina seperti begitu jauh di mata dan juga di hati.
Tapi begitulah kenyataan hidup. Asosiasi negara Asia Selatan juga sama: sulit menyatu. India dan Pakistan gegeran terus. Asosiasi negara Asia Timur juga penuh dengan persaingan. Tapi mereka tersatukan dalam satu ras kuning dan kesetaraan tingkat kesejahteraan.
Asosiasi negara-negara Teluk, yang sesama Arab, juga sulit bersatu. Fluktuasi cinta-benci seperti siang dan malam. Mereka hanya punya satu keistimewaan bersama: sama-sama punya hak naik kereta dari Makkah ke Mina di musim haji. Jamaah haji dari luar negara Teluk tidak boleh naik kereta bikinan Tiongkok itu.
Dari tiga jenis KTT itu kelihatannya KTT G20-lah yang terlihat paling top. KTT APEC belum ada gemanya. APEC nyaris lumpuh di tengah perang dagang antar dua anggota pentingnya: Amerika Serikat dan Tiongkok. Presiden Donald Trump juga sudah ”membunuh” janin perjanjian dagang trans Pacific.
APEC terlalu besar dan luas. Relevansinya ditorpedo oleh Trump.
Di saat KTT APEC sudah berlangsung di Bangkok pembicaraan dunia masih tentang KTT G20 Bali. Atau buntut-buntutnya. Buntut yang paling heboh soal video Xi Jinping yang lagi menegur Justin Trudeau dari Kanada.
Kedua pemimpin itu memang sempat bertemu 10 menit di Bali. Hanya 10 menit. Ini saja sudah menandakan kondisi hubungan keduanya tidak sedang baik-baik saja.
Pertemuan 10 menit itu pun bukan di ruang khusus. Itu dilakukan di sela-sela acara di malam pertama di Bali. Pertemuan itu bisa dilihat banyak orang. Di tempat terbuka. Banyak juga tokoh lain yang mengadakan pembicaraan semi formal seperti itu di ruang besar itu.
Isi pembicaraan itu bocor. Media di Kanada ramai memberitakannya. Xi Jinping terlihat tidak bisa menerima kenyataan itu. Di saat bertemu Trudeau Jinping membicarakan soal kebocoran itu.
Selama ini Tiongkok memang sudah marah kepada Kanada. Di Bali kemarin dicoba diredakan. Keduanya bertemu khusus meski hanya 10 menit. Itulah pertemuan pertama sejak 3 tahun lalu.
Selama ini kemarahan Tiongkok pada Kanada memang melebihi kemarahannya pada Amerika Serikat. Terutama sejak bos Huawei, madam Meng Wanzhou, ditangkap di Bandara Vancouver, 2018.
Setelah berbagai usaha membebaskannya gagal, Tiongkok membalas dengan menangkap dua orang Kanada yang lagi di Tiongkok. Salah satunya dijatuhi hukuman mati.
Drama saling tangkap itu berlangsung dua tahun. Kehidupan tokoh-tokoh bisnis jadi mainan politik. Ujung-ujungnya mereka dibebaskan. Derita sudah telanjur begitu dalam.
Setelah isi pertemuan 10 menit itu jadi berita media di Kanada ketegangan pindah ke Bali. Mengapa media di Kanada menceritakan isi pembicaraan dua kepala pemerintahan. Memang media hanya mengutip ”sumber dari orang pemerintahan Kanada yang bisa dipercaya”. Tapi sumber itu siapa lagi kalau bukan yang ada di Bali.
Jinping pun menegur Trudeau: tidak sepantasnya isi pembicaraan tingkat tinggi seperti itu dibocorkan ke media. Sopan santun diplomasi tingkat tinggi, kata Jinping, tidak begitu.
Trudeau mengelak teguran itu dengan alasan di Kanada orang bebas bicara apa saja. Di masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Jinping terlihat tidak suka dengan alasan itu. Pembicaraan dua pemimpin negara, katanya, harus didasari pada ketulusan dan kesetaraan.
“Sudahlah…” kata Jinping dalam bahasa Mandarin (“hao…”) sambil menyalami Trudeau dan menjauh dari pemimpin muda itu. Kata “hao” di situ biasa diterjemahkan dengan “baiklah” tapi dalam konteks body language Jinping saat itu bisa juga diartikan “Ya sudahlah…”.
Itu adegan langka.
Media yang dikontrol ketat di Tiongkok tidak pernah menampilkan gambar pemimpin mereka yang di luar skenario pencitraan seperti itu. Maka video di Bali bersama Trudeau itu sangat langka. Banyak yang berkomentar “dari video itu kita bisa tahu karakter asli Jinping”.
Bukan hanya gambarnya yang langka. Peristiwanya pun sulit ditemukan: seorang pimpinan negara menegur pimpinan negara lain di tempat yang cukup terbuka. Ada yang merekam pula.
Buntut video itu pasti akan sangat panjang. Juga pelajaran berharga bagi kelas-kelas hubungan internasional di kampus-kampus. Terutama dalam mata kuliah tata krama diplomasi.
Tugas wartawan memang mencari tahu apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan 10 menit itu. Terserah pejabat tinggi di situ: mau atau tidak membocorkan isi pembicaraan mereka kepada wartawan.
Dalam kasus video itu kelihatannya wartawan Kanada punya hubungan dekat dengan pejabat tinggi yang terlibat dalam perundingan. Atau jangan-jangan dekat dengan Trudeau sendiri. Trudeau memang jadi media darling di Kanada. Media suka padanya.
Yang penting si wartawan dapat bocoran yang dia inginkan. Hanya saja dia mendapat pesan dari pejabat tinggi tersebut: “Jangan menyebut siapa sumber beritanya”.
Menurut “sumber” itu isi pembicaraan 10 menit Trudeau-Jinping adalah soal intervensi Tiongkok di Pemilu Kanada September tahu lalu.
Partai Trudeau, Liberal, memang masih mendapatkan suara terbanyak, tapi suaranya merosot drastis. Hampir kalah. Liberal kini bukan mayoritas lagi di parlemen. Secara popular-vote pun Trudeau kalah. Ia harus berkoalisi untuk jadi perdana menteri lagi.
Trudeau juga mempersoalkan berdirinya pos-pos polisi Tiongkok di Toronto.
Di kota itu terdapat hampir 800.000 orang Tionghoa. Jumlah komunitas Tionghoa di Toronto hanya kalah banyak dengan di kota Vancouver. Beda dikit. Persentase etnis Tionghoa di Vancouver paling tinggi (20 persen) dibanding etnis apa pun lainnya.
Yang disebut pos polisi itu adalah pos bantuan sosial bagi warga Tionghoa setempat. Terutama untuk mereka yang kurang paham akan hukum dan aturan Kanada. Termasuk bagaimana mengurus surat izin mengemudi atau perpanjangannya. Hal serupa juga ada di New York. Yakni di dekat China Town New York City. Pos itu dianggap kian penting terutama setelah semakin banyak etnis Tionghoa jadi korban kebencian ras di Amerika.
Bagi Trudeau pembocoran isi pembicaraan seperti itu sangat menguntungkan dirinya. Di dalam negeri. Tapi dampaknya bagi hubungan antar negara bisa sensitif.
Kemarin keduanya sama-sama berada di Bangkok. Sama-sama menghadiri KTT APEC. Xi Jinping menjadi yang paling menonjol. Joe Biden mewakilkan ke Wapres Kamala Harris. Vladimir Putin mewakilkan ke deputi perdana menteri.
Siapa tahu Trudeau bisa meneruskan dramanya dengan Jinping di Bali itu. (Dahlan Iskan)
Oleh : Dahlan Iskan
DI BALIK bintang-bintang ada satu bintang: Wishnutama. Wishnu-lah arsitek di balik gemerlap Gala Dinner KTT G20 di Bali. Itu dibenarkan oleh tokoh seperti Sandiaga Uno, menteri pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Wishnutama,” jawab Sandi saat saya tanya soal bintang di balik bintang itu.
Sandi, 53 tahun. Wishnu, 52 tahun. Sama-sama berpendidikan Amerika. Wishnu lebih dulu menjadi menteri pariwisata. Sandi yang menggantikannya, sejak tahun 2020.
Saya pun menghubungi Wishnutama kemarin sore. Saya ucapkan selamat atas suksesnya itu. Ini mengingatkan saya akan sukses Wishnu menangani pembukaan Asian Games. Dan penutupannya. Tahun 2018.
“Asian Games itu persiapannya lebih longgar. Enam bulan,” ujarnya. Pun stadionnya. Ditutup sejak enam bulan sebelumnya. Persiapan pembukaan bisa dilakukan tanpa kendala waktu dan tempat.
“Persiapan lokasi acara Gala Dinner G20 baru bisa dilakukan sejak 1 November. Panggung baru bisa dikerjakan seminggu sebelum acara,” ujar Wishnu. Itu karena GWK adalah objek wisata umum.
Wishnu lahir di Jayapura. Itu karena ayahnya menjabat kepala Dinas Pekerjaan Umum di sana. Tapi sejak SMP, Wishnu sudah sekolah di Australia. Lalu ke Amerika.
“Kenapa Gala Dinner itu diadakan di taman Garuda Wisnu Kencana?”
“Sebenarnya ada pilihan lain. Peninsula. Tapi kita perlu keunikan yang tinggi,” ujar Wishnu.
Maka setelah dilaporkan ke Presiden Jokowi, dipilihlah GWK. Di GWK pun ada dua pilihan lokasi. Maka dipilih yang dipakai malam itu.
Pilihan itu akhirnya diakui secara luas sangat tepat.
Untuk mencapai ”ruang” Gala Dinner itu para kepala negara harus lewat lorong-lorong yang dramatis. Juga tebing-tebing gunung yang diiris. Setelah itu barulah mereka tiba di satu ”ruang” besar yang terang. Sangat wow!
Tinggal bagaimana agar tidak hujan.
Wishnu pilih menggunakan teknologi. Ia bekerja sama dengan TNI-AU dan Badan Meteorologi dan Geofisika. Empat pesawat TNI-AU terbang berkali-kali di atas Bali. Dua dari arah Banyuwangi. Dua lagi dari arah Lombok.
Pesawat tersebut menebarkan garam terus menerus. Sampai 20-30 ton. Agar hujan tidak turun.
Tapi lewat tengah hari mendung tebal menggelayut di atas Bali. Penaburan garam pun dihentikan. Sementara. Justru mendung itu dilepas saja sekalian. Agar jadi hujan. Mumpung masih pukul 15.00.
Maka hujan turun sangat deras. Lama. Wishnu terus berkoordinasi dengan BMKG. Didapatlah keyakinan ilmiah: hujan akan berhenti sekitar pukul 17.30. Aman.
“Tidak pakai pawang hujan?” tanya saya.
“Kami tidak. Entah kalau Pemda atau panitia lokal,” ujar Wishnu.
Wishnu itu tokoh media. Khususnya televisi. Pulang ke Indonesia Wishnu bekerja untuk Indosiar. Lalu menjadi direktur di Trans TV. Enam tahun Wishnu di Trans, sampai ke tingkat CEO.
“Yang menemukan ustadz Maulana, Pak Wishnu,” ujar teman Disway.
Ustadz mungil asal Sulawesi itu sangat digemari pemirsa Trans. Lucu sekali. Masih eksis sampai sekarang.
Dari Trans, Wishnu pindah ke NET TV. Dari profesional ke pengusaha. Ia salah satu pemegang saham di NET TV. Di awal-awal kemunculan NET TV terlihat sekali gaya dan level Wishnu: acara-acara NET TV sangat hi-taste.
Tentu juga mahal. Dan itu membuat bisnis tidak begitu bagus. Nama NET TV lantas tenggelam di antara stasiun lain yang saling kejar mengejar rating.
Wishnu pun diangkat jadi menteri. Selama satu tahun. Kini kita mengenal Wishnu sebagai komisaris utama Telkomsel. Juga komisaris Tokopedia. Komisaris juga di Goto yang sudah rugi hampir Rp 100 triliun.
Wishnu masih paling sakti dalam merancang dan mengendalikan acara seperti itu. Dunia dibuatnya tercengang.
Tentu ada bintang lain di balik para bintang G20: Srikandi Indonesia, Menlu Retno Lestari Marsudi. Lalu ada Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Apa kesulitan terbesar menyiapkan acara seperti malam itu?
“Keamanan,” ujar Wishnu. Masing-masing tim keamanan menanyakan aspek keselamatan pimpinan mereka.
Misalnya soal tiang-tiang penyangga lampu yang begitu banyak dan tinggi. Bagaimana kalau ada gempa. Atau puting beliung. Maka konstruksi tiang lampu tersebut harus istimewa. Terbuat dari pemberat air di bagian bawahnya.
Soal komunikasi antar tim kesenian juga berat. Jangan sampai peralatan yang fungsinya nge-jam komunikasi di situ berakibat putusnya komunikasi antar petugas kesenian.
Bagaimana dinding irisan gunung itu bisa jadi layar digital raksasa?
“Sebenarnya dinding-dinding itu sudah berlumut. Gelap. Terpaksa harus kami bersihkan dulu. Sampai warna asli gunung kapurnya terlihat putih,” ujar Wishnu.
Intinya, G20 sukses. Mahal-murahnya bisa kembali ke pepatah Jawa: ono rupo, ono rego. (Dahlan Iskan)
Be the first person to like this.
Oleh : Dahlan Iskan
TOP! Mengagumkan! Mengesankan!
Itulah kesimpulan saya menyaksikan Gala Dinner G20 di Bali kemarin malam. Sempurna. Gabungan naturalis dengan digitalis. Anggun, megah, indah: jadi satu.
Dan hebatnya: tidak hujan. Padahal tidak terlihat ada pawang yang mondar-mandir di situ. Atau ada?
Setting acaranya padat. Hanya tiga show. Tapi formatnya bisa memungkinkan banyak tokoh go mingle. Formal tapi cair.
Proses kedatangan tamu negara yang berjarak tiga menit, membuat mereka yang datang lebih awal bisa banyak punya waktu saling mendatangi atau didatangi.
Mantan Presiden SBY tampak sempat asyik dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Di akhir acara terlihat pula Presiden Jokowi didatangi banyak kepala negara. Ngobrol santai. Memuji. Mengagumi.
Bahkan Presiden Xi Jinping dari Tiongkok begitu lama berbincang dengan Jokowi. Jinping juga begitu lama ngobrol dengan Perdana Menteri India Narendra Modi. Santai. Informal. Padahal kesan yang muncul di media selama ini, keduanya sangat dingin.
Format makan malam itu disiapkan sangat sempurna. Para kepala pemerintahan duduk dalam format letter U. Di tengah U itu ternyata arena show. Di mulut U itu tangga trap lebar yang tinggi. Dari tangga itulah para artis turun menuju arena. Mereka seperti turun dari langit.
Permainan lampu dan cahayanya mengagumkan. ”Dinding” kanan kiri itu jadi screen raksasa. Padahal itu irisan bukit batu. ”Screen” tersebut memang tidak terlihat cling, tapi justru menimbulkan kesan natural yang luar biasa. Cahaya-cahaya laser yang menyorot dari samping-atas pun menjadi seperti plafon cahaya yang tinggi.
Peran MC yang digantikan sosok kartun di ”Screen Batu” membuat acara Gala Dinner G20 ini berjalan mengalir seperti tanpa ada yang memutus.
Tiga show malam itu membuat pertunjukan tersebut seperti multi dimensi. Tari, teater, nyanyi diramu dalam satu kemasan indah. Tari dan lagu dari berbagai daerah ditampilkan bersama secara kolosal dalam tema kembali ke alam. Saya memuji rancangan pakaian tari Dayak, Burung Enggang, yang jatuhnya menjadi sangat berkelas dan anggun.
Tentu yang menjadi gongnya adalah show ketiga: tampilnya Hip Hop cilik dari kota So-e, pedalaman Timor. Mereka adalah Aldo, Charlos, dan Reven. Mereka berkolaborasi dengan penyanyi dari pulau kecil di NTT, pulau Alor, Andmesh Kamaleng.
Maka nama So-e dan Alor pun meroket ke panggung dunia. Dari kampung pedalaman mereka tampil di depan para pemimpin negara terbesar perekonomian mereka di jagat raya. Pak Jokowi yang mengangkat derajat mereka.
So-e adalah kota kecil ibu kota kabupaten Timor Tengah Selatan. Letaknya masih di sekitar 120 Km dari kota Kupang. Siapa pun yang dalam perjalanan darat dari Kupang ke Timtim melewati kota ini.
So-e terkenal karena letaknya yang di ketinggian 700 meter. Dingin. Dulu, di zaman Orde Baru, So-e juga terkenal karena ada bupati yang memasukkan tanah ke mulut penduduknya yang sangat miskin. “Makan tanah ini,” kata sang bupati. Ia marah. Penduduk di sana terkenal pemalas. Sulit diajak bekerja keras. Sang bupati ingin mengubah budaya itu.
Kini So-e terkenal karena Hip Hop. Tiga Hip Hoper cilik ini pernah diundang Presiden Jokowi ke istana negara. Rasanya tiga tahun lalu. Rupanya Pak Jokowi ingat terus tiga anak itu. Seperti juga si cilik Farel dari Banyuwangi, Hip Hop cilik ini diorbitkan ke langit yang tinggi.
Para kepala negara tampak menggerakkan kepala. Mereka mengikuti irama Hip Hop dengan kepala atau tangan mereka. Pun Presiden Jokowi. Terlihat menikmati sekali.
Malam itu mereka menyanyikan Malam Indah karya Hip hoper terbaik Indonesia, Iwa K. Bisa jadi, setelah gala dinner G20 ini, mereka ngetop seperti Farel: memuncaki tangga lagu Hip Hop Indonesia. Siapa tahu mereka bisa segera bertengger di atas lima besar Hip hoper Indonesia: Iwa K, Jogja Hiphop, Saykoji, dan Kungpow Chicken.
Sayang Presiden Joe Biden tidak hadir di gala dinner. Spekulasi pun meluas: ia harus isolasi. Yakni setelah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, diketahui positif Covid-19. Padahal Biden mengadakan pertemuan dengan Hun Sen di Kamboja sehari sebelumnya.
Hun Sen sendiri mengatakan sudah setiap hari melakukan tes. Selalu negatif. Ketika tiba di Bali, Hun Sen harus tes lagi: positif. Maka keesokan harinya Hun Sen kembali ke Kamboja. Biden diberi tahu pemimpin yang baru ia temui itu positif Covid.
Hun Sen datang ke G20 sebagai tamu undangan. Ia dalam posisi sebagai Ketua ASEAN. Asosiasi-asosiasi negara kawasan memang diundang ke G20. Termasuk asosiasi negara Eropa, Pacific Selatan, Jazirah Arab, dan Afrika.
Isu Biden isolasi itu tentu tidak benar. Kemarin Biden hadir di acara penanaman mangrove di hutan mangrove Ngurah Rai. Biden tampak sehat.
Pun dalam mengemas acara penanaman mangrove kemarin: sangat baik. Giliran Xi Jinping yang tidak hadir. Ia lagi bertemu perdana menteri Australia. Mereka lagi perang dingin. Bali kelihatannya menjadi perantara berakhirnya ketegangan itu.
G20 Bali pun berakhir kemarin. Mengesankan. Presiden Jokowi menutupnya dengan bahagia. Jabatan presiden G20 pun berakhir. Ia punya jabatan baru setahun ke depan: ketua ASEAN.
Kelihatannya KTT G20 masih perlu dipertahankan. Selama ini banyak kritik ke G20 sebagai forum yang tidak bisa memecahkan masalah dunia. Lalu diusulkan dibubarkan saja.
Tentu tokoh seperti Emmanuel Macron tidak setuju. Perdana Menteri Prancis itu sangat menikmati Bali. Seusai gala dinner di Garuda Wisnu Kencana, Macron pilih pulang jalan kaki. Sambil melihat-lihat masyarakat Bali. Ngobrol dengan mereka. Ia gendong seorang anak kecil. Ia angkat-angkat anak itu. Ia ajak canda. Foto itu pun viral sedunia.
Modi tentu juga tidak setuju. Ia terlihat sudah banyak bertanya mengenai acara wah di gala dinner itu. Tentu ia lagi berkhayal apakah tahun depan bisa membuat gala dinner lebih hebat dari Jokowi.
Mungkin kini hanya satu orang yang ingin G20 dibubarkan saja: bukan Si Kebaya Merah. (Dahlan Iskan)
Oleh : Dahlan Iskan
BEBERAPA bintang moncer di G20 Bali: Jokowi, Joe Biden, Xi Jinping, Rishi Sunak, Justin Trudeau, Narendra Modi, Elon Musk, Zhangpeng Zhao, Shinta Kamdani, Hyundai dan Wuling.
Tuan rumah tampil nyaris sempurna. Tidak ada gejolak apa pun. Ketidakhadiran Vladimir Putin dari Rusia mungkin malah jadi berkah kelancaran. Betapa stresnya tuan rumah kalau Putin hadir –dan Biden ngambek, diikuti Rishi Sunak.
Tokoh yang berhasil curi perhatian adalah Justin Trudeau dari Kanada dan Sunak dari Inggris.
Trudeau, Anda sudah tahu, memang begitu. Muda, santai, informal, dan longgar. Bahwa Sunak ikut kaya Trudeau mungkin karena sama-sama muda. Keduanya pilih ber-KTT di sebuah kafe. Tanpa jas. Sangat informal. Trudeau memesan bir Bintang. Sunak minum Mango Spritz –karena memang tidak pernah minum alkohol.
Meski tanpa alkohol, di forum G20 keesokan harinya Sunak ”mabuk”. Ia mengecam Rusia dengan kecaman paling keras. Lebih keras dari Biden dan Presiden Ukraina Zelenskyy sendiri.
Bahkan Sunak ikut mengecam dua negara yang bersikap netral di Ukraina: Tiongkok dan India. Serangan ke Ukraina sudah jelas membuat krisis dunia. Harusnya seluruh negara yang ada di G20 menghukum Rusia.
Sunak memang lagi menghadapi tantangan keras dari internal partainya di Inggris. Ia yang sudah keras itu dianggap kurang keras terhadap Tiongkok.
Sunak berprinsip: kenyataannya Tiongkok adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Tidak ada pemecahan perkara besar dunia tanpa melibatkan Tiongkok. Termasuk soal perang di Ukraina.
Pun di acara jamuan makan malam, tadi malam di GWK, Sunak sangat menonjol. Beda. Ia pakai hem dengan lengan digulung. Padahal dress code tadi malam itu batik. Jalannya pun paling cepat dari tamu lainnya. Gayanya seperti mahasiswa. Di acara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga mengunakan kemeja saja.
Narendra Modi jadi bintang karena rumusan jalan tengahnya. Pemimpin India itu membuat istilah ”di zaman ini seharusnya tidak ada lagi perang”.
Itu sebagai pengganti kalimat keras ”mengutuk terjadinya serangan Rusia ke Ukraina”. Lewat rumusan Modi itu secara tidak langsung semua negara sudah menyatakan tidak setuju dengan serangan Rusia ke Ukraina. Tanpa menyebabkan G20 pecah.
Tentu Biden-Jinping menjadi bintang utama. Tiga jam mereka baku dapa kali pertama sebagai sesama presiden. Pun masing-masing sudah menyampaikan garis merah yang tidak boleh saling dilewati.
Biden tampak sekali menekankan: dalam hal Taiwan tidak ada perubahan sikap lama Amerika. Dan itu sudah dipegang puluhan tahun: hanya mengakui satu China, tapi melindungi Taiwan secara militer.
Yang dikhawatirkan Tiongkok adalah: Amerika akan mengakui Taiwan sebagai negara merdeka. Berarti akan ada dua China.
Jaminan Biden itu kelihatannya dianggap cukup. Yang penting Taiwan tidak merdeka. Berarti Tiongkok harus bekerja keras agar bisa membuat Taiwan kembali ke Tiongkok secara damai. Atau sekalian memancing Taiwan agar menyatakan diri merdeka, agar ada alasan menyerbunya.
Tapi di zaman ini tidak seharusnya ada lagi perang.
Yang menggembirakan: keduanya sepakat pertemuan di Bali itu diteruskan dengan kunjungan tingkat menteri. Biden segera mengirim menlunya ke Beijing. Demikian juga sebaliknya, Jinping.
“Tidak akan ada lagi perang dingin di zaman ini. Apalagi perang panas,” ujar Biden.
Yang Biden juga tegaskan ke Jinping adalah soal Korea Utara. Agar Tiongkok mengerem Kim Jong-un. Hanya Tiongkok yang bisa mengendalikannya. Secara tidak langsung Biden bilang begitu.
Tiongkok kelihatannya memang menggunakan Jong-un untuk melampiaskan kekecewaannya pada Amerika. Khususnya soal pemasangan alat pengintai terbesar di Korsel. Yang sampai bisa mengawasi Tiongkok. Biden mengatakan, itu untuk mengawasi Korea Utara. Amerika harus melakukan itu untuk melindungi sekutunya: Korsel dan Jepang.
Rasanya Biden juga minta Jinping untuk berperan mengakhiri perang di Ukraina. Mungkin saja bisa. Yang sulit adalah mencarikan alasan agar Rusia mundur dari Ukraina.
Apakah mungkin dicarikan komitmen dari Barat: Ukraina tidak akan diterima menjadi anggota NATO. Ini cukup alasan bagi Rusia untuk mengakhiri perang. Sedang pengeluaran bantuan untuk perang bisa diabadikan untuk pembangunan ekonomi Ukraina.
Yang jelas Bali mencatatkan diri sebagai tempat terjadinya titik tolak peredaan ketegangan dunia.
Di luar agenda politik, bintang yang moncer adalah Shinta Kamdani. Pengusaha besar yang masih muda ini sukses menjadi pengendali B20. Itulah pertemuan besar kalangan bisnis dari 20 negara anggota G20.
Elon Musk hadir di B20 meski lewat layar. Ia mendadak tidak bisa ke Bali karena banyaknya ”piring di meja” nya. Sejak mengambil alih Twitter, Elon memang terlalu banyak pekerjaan. Bagi orang sekelas Elon rupanya mudah saja mendadak membatalkan komitmennya datang ke Bali. Ia memang harus menyelamatkan investasinya yang USD 44 miliar.
Meski begitu, Elon tidak kurang sensasional. Ia tampil di layar dengan latar belakang gelap. Hanya bagian wajahnya yang terang. Listrik lagi padam, katanya. Ia menggunakan lilin.
Elon Musk pakai batik saat hadir virtual di forum B20-Tangkapan layar Youtube/ B20 Indonesia 2022-Tangkapan layar Youtube/ B20 Indonesia 2022
Zhangpeng Zhao harusnya juga menarik. Ia pioneer di bisnis bitcoin. Ia kaya raya. Ia berbagi gambaran masa depan mata uang baru itu.
Zhao orang Kanada. Lahir di Jiangshu, dekat Shanghai. Orang tuanya, dosen, bermigrasi ke Kanada ketika Zhao berumur 12 tahun. Ia kuliah komputer di McGill University.
Di B20 ini nama Shinta Wijaya Kamdani benar-benar meroket. Dialah yang membuat forum bisnis B20 itu terkelola dengan baik. Ia lulusan Harvard Business School. Dia CEO grup perusahaan besar miliknyi. Dia putri pemilik grup usaha Tigaraksa. Dia wakil ketua Kadin Indonesia.
Lebih 3.000 pengusaha ikut tumplek di Bali. Termasuk untuk menghadiri forum investasi. Maka boleh dikata, G20 Bali sukses di bidang politik dan bisnis.
Dan juga sukses bagi Hyundai dan Wuling.
Pesona ibu negara Korea Selatan, Kim Keon-hee curi perhatian saat hadiri G20 Bali-Media Center G20-Media Center G20
Bintang G20 yang paling dipuja perusuh Disway pasti yang satu ini: istri perdana menteri Korea Selatan. Yang glowingnyi sampai dikira bintang film Korea.(Dahlan Iskan)
Oleh : Dahlan Iskan
AKANKAH ”pembajakan” KTT G20 akan terulang di Bali? G20 pernah dibajak habis-habisan secara politik: 2018. Itu bisa terulang di KTT G20 sekarang ini. Yang dibuka oleh Presiden Jokowi hari ini.
Waktu itu pembajaknya Presiden Donald Trump. Dia membuat drama besar di KTT G20 di Argentina 2018: Trump melakukan personal KTT dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Maka perhatian dunia tidak lagi ke KTT G20. Pertemuan Trump dengan Jinping lebih menarik. Hubungan dagang kedua negara lagi seperti bara pemanggang sate. Membakar seluruh sate di 20 negara besar. Bahkan seluruh dunia.
Maka kalau ada pertanyaan: apakah hasil KTT G20 di Argentina?
Tidak hanya Anda yang ingat jawabnya: drama duo kepala negara.
Hanya drama Trump-Jinping yang diingat: sate itu gosong. Tidak bisa dimakan. Dua negara justru saling tinju: meningkatkan tit-for-tat.
Pun sampai sekarang: belum ada sate baru yang bisa dibakar. Justru yang sudah gosong itu dibuat abu sekalian. Lewat Ukraina.
Tanpa ingin bertemu Jinping barangkali Trump tidak ingin datang ke KTT G20 Argentina. Ia termasuk tokoh yang ogah-ogahan menghadiri forum seperti G20. Hasilnya dianggap tidak langsung bermanfaat bagi negaranya. Padahal Trump punya moto: America First.
Di KTT G20 tahun berikutnya, di Osaka, Trump menyiapkan drama yang lain: ia ajak putrinya, Ivanka, ke Osaka. Heboh. Ivanka tidak punya legalitas sebagai diplomat Amerika. Tapi ia anak Trump.
Di Osaka, Ivanka aktif mingle dengan banyak kepala negara. Yang diajak bicara juga terlihat senang-senang saja. Maka foto-foto Ivanka dengan tokoh dunia lebih mendominasi media. Ivanka begitu sering tertawa lebar. Tertawa lepas. Medsos, waktu itu, sampai membahas khusus tawa Ivanka itu secara khusus.
Trump tampaknya memang perlu mempromosikan Ivanka kepada tokoh-tokoh utama dunia. Bahkan juga kepada Kim Jong-un. Maka drama berikutnya: Trump bertemu pemimpin Agung Korea Utara Kim Jong-un.
Memang KTT dengan Kim itu tidak di forum G20, tapi itulah yang diingat publik ketika ditanya apakah hasil KTT G20 di Osaka tahun 2019.
Setelah dua drama itu, tahun berikutnya muncullah ”drama” sunyi. Yakni di KTT tahun 2020 di Riyadh. Tidak ada yang hadir. Covid-19 melanda dunia. KTT G20 dilaksanakan secara virtual.
Apakah akan drama lagi di KTT Bali tahun 2022 ini?
Kalau saja Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Zelenskyy hadir mungkin ada drama besar sekali. Tapi Putin tidak hadir. Zelenskyy yang statusnya hanya undangan khusus hanya ikut KTT lewat online.
Memang tetap akan ada drama –yang lebih kecil: Presiden Joe Biden ber-KTT khusus dengan Presiden Xi Jinping di Bali. Waktunya: tadi malam waktu Bali. Boleh dibilang itulah agenda penting pertama dua tokoh tersebut setiba di Bali.
Berarti pertemuan Biden-Jinping mendahului KTT G20. Tempatnya juga di hotel yang dipergunakan untuk KTT G20, di The Apurva Hotel Kempinski Nusa Dua. Hanya ruangnya yang berbeda.
Meski tidak seheboh zaman Trump di Argentina, hasil KTT dua orang ini pasti lebih dinanti daripada hasil KTT G20 itu sendiri. Ketegangan seluruh dunia bisa reda oleh kesepakatan dua orang itu. Memang itu bisa mengganggu fokus G20. Tapi kapan lagi mereka bisa bertemu untuk kali pertama sebagai sama-sama presiden.
Suasana pertemuan mestinya lebih terang. Hasil Pemilu tengah periode di Amerika tidak terlalu memukul Biden. Jumlah gubernur dari Demokrat memang tetap kalah, tapi bertambah dua. Mayoritas di DPR mungkin hilang, tapi kalahnya hanya tipis. Bahkan sudah dipastikan Senat tetap dikuasai Demokrat. Bukan lagi 50-50, tapi setidaknya 51-49 –Demokrat dapat mengambil satu kursi Republik.
Hati Xi Jinping juga sudah lega. Muktamar Partai Komunis Tiongkok sudah selesai dengan gemilang. Maksud saya: Jinping terpilih lagi untuk kali ketiga. Itu sudah jadi jaminan Jinping akan terpilih sebagai presiden Tiongkok bukan Maret tahun depan. Untuk periode ketiga.
Dua hati yang lagi tidak gundah gulana harusnya bisa berpikir lebih jernih. Menentukan garis merah itu pun sudah satu kejernihan tersendiri. Apalagi bisa sepakat menaatinya. Perang di Ukraina pun bisa selesai. Sudah terlalu lama perang itu: 9 bulan. Dunia sudah megap-megap, termasuk dunia Barat. Pun yang tidak ikut punya urusan seperti Pakistan.
Itulah realitas hidup: sakitnya tuh di sini, enaknya di sana.
Topik KTT Biden-Jinping sudah dikisi-kisikan oleh Biden: untuk saling mengerti di mana garis merah Amerika dan garis merah Tiongkok. Itu diucapkan Biden sebelum berangkat dari Washington DC. Dalam pembicaraan itu akan disepakati agar masing-masing jangan ada yang melewati garis merah itu.
Garis merah Tiongkok, Biden pasti sudah tahu, karena Anda pun sudah tahu: Taiwan. Garis merah kedua: Xin Jiang. Garis merah ketiga: Tibet. Garis merah keempat: mencampuri urusan dalam negeri.
Pertanyaannya: seberapa tahan Amerika untuk bisa mengerem diri tidak melewati garis merah itu.
Garis merah Amerika, jangan-jangan Xi Jinping tidak tahu. Maka Anda yang harus memberi tahu: defisit neraca perdagangan, bermata nakal dengan Rusia dan jangan merangkul bahu Kim Jong-un.
Apakah Biden dan Jinping bisa sepakat untuk tidak saling melewati garis merah itu? Harusnya Selasa pagi ini kita sudah tahu apa yang mereka hasilkan. Atau mereka merahasiakannya.
Kalau saja mereka bisa sepakat, alangkah bersejarahnya Bali. Dan Presiden Jokowi: bisa mencairkan persoalan berat dunia.
Kalau mereka sudah sepakat yang diperlukan tinggal siapa wasitnya. Yang bisa diterima dua belah pihak. Yakni wasit yang akan menilai siapa yang melewati garis merah itu. Profesor Pry pasti mengusulkan wasit dari Indonesia: si kebaya merah.
Maka tiga agenda besar KTT G20 –restrukturisasi sistem kesehatan dunia, transisi energi, dan ekonomi digital– bisa jadi ikut tenggelam oleh KTT Biden-Jinping. Gak masalah. Toh inti keruwetan dunia adanya di situ.
Bagi Indonesia yang penting tiga agenda KTT Bali disepakati. Lalu tim monitor pelaksanaannya diperkuat. Siapa yang melanggar diumumkan di KTT tahun depan di New Delhi.
Memang masih ada sorotan lain lagi: KTT antara Jinping dan pemimpin Australia. Mumpung keduanya bertemu di Bali. Australia menghendaki agar Jinping mau mengakhiri boikotnya.
Sudah lebih 2 tahun Tiongkok tidak mau membeli batubara dari Australia. Juga bijih besi. Ekonomi Australia sangat terpukul.
Penyebab boikot itu, Anda juga sudah tahu: Australia ngotot minta dunia untuk menyelidiki Tiongkok sebagai sumber Covid-19. Padahal Tiongkok sudah membuka diri ke WHO. Belakangan Australia tidak ngotot lagi.
Mendung tidak akan selamanya menggelayut di satu tempat. Tapi mendung di atas Ukraina itu sudah terlalu lama. Mungkin tuah Bali bisa menggesernya ke atas Samudera Hindia.(Dahlan Iskan)